JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr Hj Netty Prasetiyani mengungkapkan ada yang salah pada pelaksanaan program Kartu Pra Kerja (KPK) yang acap kali disuarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam usaha mendapatkan suara dari para pemilih millenial saat kampanye serta debat calon presiden sebelum Pilpres pada pemilu serentak tahun lalu.
Dari Rp 110 triliun anggaran yang dialokasikan Pemerintak untuk Jaring Pengaman Sosial dalam penanggulangan wabah virus Corona (Covid-19), Rp 20 triliun diperuntukan buat KPK dengan sasaran para pekerja terdampak wabah mematikan tersebut.
Namun, dalam pelaksanaannya, kata anggota Komisi IX DPR RI membidangi tenaga kerja dan kesehatan tersebut terjadi kekisruhan. Soalnya, hak Rp 3,4 juta per orang, dipotong Rp 1 juta buat biaya pelatihan digital. Ironisnya lagi, total Rp 5,6 triliun dana untuk pelatihan itu dikelola perusahaan yang masih ada koneksi atau hubungan dengan Istana.
Dalam keterangan kepada Beritalima.com, Rabu (22/4) malam, legislator Dapil VIII Provinsi Jawa Barat tersebut mengatakan, kekisruhan membuat program Jokowi ini mendapat banyak kritikan. Selain itu, banyak keluhan soal sulitnya mengakses proses pendaftaran online KPK, proses rekrutmen off line yang sudah berjalan di beberapa tempat,
“Bahkan ada kantor partai yang buka pendaftaran. Ada juga aturan soal 30 hari tidak daftar pelatihan, KPK hangus. Alih-alih membantu malah bisa jadi balada pekerja. Kerasnya kritik publik menunjukkan ada yang salah dalam proses dan implementasi KPK,” kata Netty.
Sebenarnya, kata perempuan berhijab itu, program KPK ini masih menjadi bahan diskusi di kalangan Komisi IX terkait konsep dan implementasi. “Anehnya, program ini digawangi Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Lebih anehnya lagi, Kemenko Perekonomian tidak memiliki mitra di DPR RI dan tidak melakukan fungsi teknis. Bagaimana proses pengawasannya.”
Dikatakan pemegang gelar S3 Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini, ada tiga hal yang patut dikritisi dan sangat berpotensi menjadi kegagalan dari program KPK ini yakni efektivitas, sasaran, skala prioritas dan alokasi anggaran.
“Tujuan kartu ini untuk re-skilling dan up-skilling pencari kerja. Yang sangat dibutuhkan sekarang bagaimana menyelamatkan hidup diri dan keluarga. Bukankah kebutuhan fisiologis itu yang pertama harus dipenuhi? Parahnya, jika tetap dilaksanakan sangat mungkin ada miss-match, karena supply tenaga kerja kita melimpah tapi lowongan pekerjaan bahkan hampir tidak ada,” ungkap Netty.
Lebih jauh dijelaskan, sasaran program ini adalah mereka yang mengalami penurunan pendapatan bahkan kehilangan pekerjaan, baik informal maupun formal dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Namun, program itu tidak memiliki basis data yang akurat.
“Satgas Covid-19 menyebut 1,2 juta pekerja terdampak. Data Kemenaker 2,8 juta lalu direvisi ikut data satgas nasional. Dengan begitu, bagaimana masyarakat bisa percaya. Apalagi ada kondisi lain di lapangan yang luput dari perhatian pemerintah, seperti PHK akibat Covid-19,” jelas Netty.
Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2019 mencatat angka pengangguran mencapai 7,05 juta, setengah pengangguran 8,14 juta dan pekerja paruh waktu 28,41 juta. Dari data itu, potensi sasaran penerima KPK bisa menjadi sangat besar akibat dampak Covid-19. “Dengan begitu, bagaimana kartu ini dapat menjawab persoalan riil jika sasaran penerima 5,6 juta dan dengan potongan biaya lain pula.”
Menyoroti potongan biaya pelatihan, kata Netty, alih-alih memberikan pelatihan gratis kepada warga. Lucunya, pemerintah membayar swasta yang belum tentu efektif output dan impact-nya. “Bagaimana juga, swasta pasti berorientasi kepada profit. Apalagi, tak ada tanggung jawab pengelola pelatihan untuk menyalurkan ke dunia kerja. Kasihan sekali masyarakat,” sesal Netty.
Diingatakan potensi masalah jika KPK tetap digulirkan yaitu kesesuai jumlah calon penerima dengan kondisi rill masyarakat terdampak Covid-19, asas pemerataan keadilan dalam jumlah distribusi kartu untuk semua daerah, kesiapan infrastruktur, instruktur BLK untuk pelatihan dan praktik, pelatihan yang tidak sesuai dengan sektor dan kebutuhan kerja, banyak tenaga kerja informal terdampak, membutuhkan ketersediaan akses internet memadai dan literasi digital.
Jadi, lanjut Netty, anggaran Rp 20 triliun KPK rawan penyelewengan dan penyimpangan baik keuntungan finansial maupun membangun pencitraan. “:Jangan sampai kita hilang akal mengenali dan mengawasi. Berdasarkan kondisi riil di lapangan, lebih baik ditunda program KPK hingga badai Covid-19 reda. Saay ini fokus saja kepada stimulus tunai dan bansos buat warga terdampak dengan kategorisasi yang jelas dibutuhkan,” demikian Dr Hj Netty Prasetiyani. (akhir)