JAKARTA, Beritalima.com | Indonesia dan Korea Selatan ( Korsel) memiliki sejarah yang cukup bersinggungan.
Mulai dari sama-sama merdeka di Agustus 1945 hingga berada di kelas negara berpendapatan rendah (low income country) pada tahun 1960-an.
Kendati demikian, ekonomi Korsel berkembang jauh lebih cepat ketimbang Indonesia, dengan menjadi negara berpengasilan menengah ke atas (upper middle income country) pada 1987. Seperti yang dilansir Kompas.com
Padahal Indonesia, saat ini baru saja masuk ke kelas upper middle income country.
Bukan tanpa alasan perekonomian Korsel bisa melaju pesat, menurut Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi, ada peran pelaku usaha disana khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah ( UMKM).
Ia bilang, pemerintah Korsel pasca demokratisasi di tahun 1987 mulai mengarahkan kebijakannya untuk pelaku usaha bisa berkembang pesat sehingga turut mendorong perekonomian dalam negeri.
“Korsel mendorong semua pelaku usaha untuk mencapai kemandirian usaha. Oleh karena itu, UMKM jadi penting dalam pembangunan ekonomi di Korsel,” ujar Umar dalam webinar Core: Kreativitas dan UMKM Ala Korea Selatan, Rabu (14/10/2020).
Dalam perkembangannya, Korsel turut berfokus pada ekonomi digital seiring dengan masuknya dunia ke era industri 4.0.
Maka sejak tahun 2017, pemerintah Korsel fokus untuk digitalisasi pelaku UMKM dengan membuat Kementerian UMKM dan Startup.
“Korsel itu awalnya kembangkan industri dasar, seperti besi, baja dan petrokimia, lalu setelah reformasi masuk ke manufaktur, dan sekarang masuk ke jasa, industri kreatif, dan digitalisasi,” jelas dia.
Kontribusi UMKM pada perekonomian Korsel tercermin dari 90 persen atau sebanyak 3,5 juta perusahaan di Negeri Gingseng tersebut merupakan sektor UMKM. Sektor ini menyerap 87,4 persen tenaga kerja.
Sementara UMKM berkontribusi 40 persen pada ekspor nasional Korsel. Jauh dibandingkan kontribusi UMKM Indonesia yang masih sebesar 14 persen terhadap kinerja ekspor nasional.
Di sisi lain, upaya pengembangan UMKM oleh pemerintah Korsel tercermin dari investasi untuk sektor ini mencapai 3,5 miliar dollar AS di tahun 2019. Selain itu, terdapat 7 zona khusus yang dibentuk untuk pengembangan inovasi bagi UMKM.
Selain itu, pada tahun 2019 turut dilakukan pendirian 109.000 UMKM dan startup baru. Seiring dengan itu, 5 unicorn pun lahir sehingga Korsel memiliki 11 unicorn.
Umar menjelaskan, ada 4 kebijakan pemerintah Korsel untuk menuju Korean Digital Economy dengan melibatkan UMKM dan startup.
Pertama, Smart SMEs yakni teknologi smart IT bagi UMKM dan startup menuju revolusi industri 4.0. Dilakukan inovasi efisiensi dalam rantai dan hingga tahun 2019 sudah didirikan 12.660 fasilitas smart factory.
Kedua, K Brand yakni penguatan brand produk Korsel melalui popularitas korean wave. Hal dilakukan dengan kurasi produk, peningkatan kualitas, dan romosi produk Korsel dalam berbagai ajang internasional.
“Sejak tahun 2000-an Korean wave menduia, dengan K-Pop dan K-drama, jadi itu mereka kapitalisasi untuk meningkatkat ekspor dari produk-produk Korsel. Sehingga semuanya ada istilah K, itu jadi branding global yang luar biasa,” jelas dia.
Ketiga, inclusive companies program yaitu mendorong kolaborasi antara korporasi dengan UMKM dan wiraswasta. Pemerintah Korsel pun memberikan insentif untuk mendorong kontribusi korporasi bagi pengembangan UMKM.
Keempat, kerja sama global yakni kolaborasi dengan perusahaan IT multinasional seperti Google dan Nvidia. Serta dengan mendirikan jejaring korea startup centers di Amerika Serikat, Asia, Eropa, dan Timur Tengah.
Program ini mampu menarik investasi hingga 13 miliar won atau setara 11 juta dollar AS, dan mendorong akses produk Korsel di 100 negara.
“Jadi empat hal itulah yang menjadi desain pemerintah Korsel untuk dorong UMKM dan startup Korsel going digital,” pungkasnya.(yul)