JAKARTA, Beritalima.com– Panitia Perancang Undang-undang (PPUU) DPD RI menilai perkembangan era globalisasi dan perdagangan bebas, belum diakomodir dalam UU No: 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Untuk itu, perlu payung hukum yang mengatur perlindungan konsumen atau data pribadi dalam menghadapi perkembangan teknologi. Secara sosiologis perkembangan masyarakat terkait teknologi digital dan pelaku usaha sudah berkembang dilakukan secara elektronik tanpa batasan waktu dan lokasi.
“UU tentang Perlindungan Konsumen perlu antisipasi perkembangan bisnis 10-20 tahun ke depan yang mendasarkan kegiatannya pada big data, artificial intelligent dan connectivity,” ucap Wakil Ketua PPUU DPD RI, Eni Sumarni saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan BPKN serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, pekan ini.
Eni menambahkan, untuk melindungi konsumen diperlukan perlindungan data pribadi. Meningkatnya transaksi elektronik dengan data sebagai basis aksesnya menyebabkan perlu ada upaya kuat untuk melindungi data pribadi. “Semoga penyelesaian RUU Perlindungan Data Pribadi disahkan tahun ini oleh DPR RI,” harap Eni.
PPUU DPD RI juga berharap, ke depan penguatan dan penataan sistem kelembagaan perlindungan konsumen bisa terlaksana. “Perlu pengaturan secara khusus lembaga yang berwenang memberikan perlindungaan konsumen,” kata dia.
Anggota DPD RI dari Dapil Provinsi Sumatera Barat, Muslim M Yatim mempertanyakan bagaimana membedakan label halal asli atau bukan. Lantaran, ada isu yang berkembang, label halal dapat diperjualbelikan. “Ada isu yang berkembang label halal bisa diperjualbelikan. Ini gawat, bagaimana membedakannya dan bisa beredar di masyarakat,” kata dia.
Anggota DPD RI Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Achmad Sukisman Azmy menilai UU Perlindungan Konsumen sejauh ini tidak bermakna. Padahal UU ini sudah ada sejak lama. Namun, masih banyak konsumen yang tidak terakomodir.
“Sementara merevisi UU Perlindungan Konsumen ada kekhawatiran, setelah direvisi akan senasib dengan UU yang lama. Apalagi di era globalisasi ini sangat sulit mengawasi ini,” ucap Sukisman.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim menjelaskan, pihaknya menerima 6.300 pengaduan sejak 2017 sampai 17 Juni 2021. Sedangkan 2005-2021 telah mengirimkan 211 rekomendasi kepada kementerian/lembaga, 165 rekomendasi belum mendapatkan tanggapan dari 42 kementerian/lembaga.
“Perlindungan konsumen belum menjadi pertimbangan prioritas dalam kebijakan perekonomian nasional. Mekanisme dan implementasi pengawasan terhadap peredaran barang atau jasa belum optimal, khususnya pada kualitas sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan,” kata Rizal.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menjelaskan, sudah enam tahun UU Jaminan Produk Halal (JPH). Tetapi keberadaannya belum efektif melindungi konsumen, sekalipun untuk pangan, apalagi farmasi.
“Kendalanya, efektivitas produk hukum dipengaruhi struktur hukum, konten hukum, dan kultur hukum. Dari aspek struktur hukum, adalah kesiapan jumlah auditor halal. Saat ini baru terdapat 1800-an auditor halal,” beber dia.
Ditambahkan, setiap tahun ada sekitar 920 ribuan produk yang harus disertifikasi halal, dan memerlukan idealnya 30.000-an orang auditor halal. “Sertifikasi halal pada UU JPH memang menyulitkan sektor UKM atau UMKM baik dari sisi proses bisnis, infrastruktur dan plus biaya.” (akhir)