Praktek Khiyar Dalam Islam, Pencegahan Tipu Daya Dalam Jual Beli

  • Whatsapp

Lia Istifhama, Sekretaris MUI Jatim

Sebuah hadis menerangkan:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : ذَكَرَ رَجُلٌ لِرَسُولِ اللَّهِ ص أَنَّهُ يخدع في السوع فَقَالَ اِذَا بَا يَعتَ فَقُلْ لَا خِلَابَةَ ، مَتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Ibnu ‘Umar. Ia berkata: “Ada seorang terangkan kepada Rasulullah saw., bahwa ia (selalu) ditipu orang di dalam jual-beli.” Maka sabdanya: “Apabila engkau jual-beli hendaklah engkau berkata: Jangan tipu daya”. (Kitab Terjemah Hadis Shahih Bukhari).

Tipu daya memang dilarang keras oleh Islam, termasuk saat dipraktekkan dalam transaksi jual beli. Prakteknya di masyarakat, jual beli pun sarat diwarnai dengan aksi tipu daya yang bertujuan merugikan salah satu pihak.

Contohnya yang menimpa sebuah pondok pesantren mahasiswa di Surabaya. Kasus yang bergulir hingga kasasi, bermula pada peristiwa 13 November 2015 silam. Saat itu, pengasuh Ponpes berencana mengembangkan ponpes dengan mencari pinjaman modal pembangunan. Namun dalam perjalanan, pengasuh yang wafat pada April 2020 lalu, ditipu oleh beberapa orang yang mengaku sebagai pemodal namun ternyata menyodorkan akta perjanjian tanpa disadari pengasuh ponpes tersebut. Blangko akta tersebut berupa draft dengan beberapa poin belum terisi namun pengasuh tetap menandatangani karena notaris yang ditunjuk oleh pihak pengaku pembeli, secara lugas menyebutkan bahwa akta tersebut adalah utang piutang.

Berbekal akta jual beli yang sekaligus akta kuasa menjual yang disodorkan bersmaan oleh notaris kepada pengasuh ponpes saat itu, maka akta tersebut kemudian menjadi dasar gugatan pada pihak pelaku pembeli untuk menguasai aset ponpes di belakang kampus UINSA tersebut. Tepatnya gugatan di PN (Pengadilan Negeri) Surabaya pada Juni 2022 lalu. Sekalipun, uang yang disebut oleh pembeli sebagai uang pembelian bangunan, ternyata tidak diterima oleh pengasuh ponpes, melainkan oleh rekan dari pembeli itu sendiri.

Atas dasar fakta tersebutlah, maka jauh sebelum gugatan tersebut dilayangkan, pengasuh Ponpes telah lebih awal melaporkan pihak yang mengaku pembeli, pada Polda Jatim, tepatnya pada 12 November 2016. Perkara tersebut kemudian bergulir dan menjadi pembelajaran penting untuk dikaitkan dengan fiqih muamalah.

Dalam Islam atau fiqih muamalah, telah diterangkan beberapa prinsip yang bertujuan mencegah terjadinya tipu daya dalam jual beli. Khiyar, salah satunya, yang bisa diterapkan dalam transaksi atau jual beli dalam Islam. Tujuan adanya khiyar ialah supaya kedua belah pihak yang bertransaksi tidak mengalami kerugian maupun penyesalan.

Arti dari kata “khiyar” adalah pemilihan. Sedangkan dalam jual beli, pemilihan merupakan hal yang wajar dilakukan oleh pembeli terhadap penjual. Dalam etika bisnis, khiyar merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dan dipahami, baik oleh penjual maupun pembeli karena khiyar memberi hak memilih pada kedua belah pihak (penjual dan pembeli).

Khiyar hukumnya mubah bagi penjual dan pembeli dengan cara membuat kesepakatan dalam akad jual beli. Khiyar sangat bermanfaat bagi penjual dan pembeli, sehingga dapat memikirkan sejauh mana kebaikan dan keburukannya agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

Dalam beberapa referensi hadis, khiyar umumnya cenderung memberikan rasa aman bagi pembeli agar tidak tertipu saat membeli barang. Seperti yang diterangkan dalam hadis:

Dan dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, ia berkata: “Laki laki itu adalah datukku (tuanku), yaitu Munqidz bin ‘Umar. Dia seorang laki laki yang terkena musibah pada tengah kepalanya, kemudian lisannya menjadi pelat, ia tidak pernah meninggalkan bisnis, sedang ia selalu ditipu orang. Lalu ia datang kepada Nabi saw., menyebutkan keadaannya itu kepadanya, lalu Nabi saw., bersabda: “Apabila engkau tetap berjualan maka katakanlah: ‘Tidak ada penipuan. Kemudian setiap barang yang engkau beli engkau mempunyai hak khiyar (dipinjam sebelum memutuskan membeli), selama 3 malam. Kalau engkau rela, boleh engkau teruskan, tetapi jika engkau menyesal, kembalikanlah kepada pemiliknya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Tarikhnya, Ibnu Majah dan Daraquthni).

Hadis tersebut tentu sesuai kisah di masa lalu yang mana praktek penipuan memang umumnya dilakukan oleh penjual, dan sangat jarang terjadi orang membeli barang untuk menipu penjualnya.

Dan kembali pada kisah tentang pengasuh ponpes di atas, bahwa memang kasus semacam itu jarang terjadi di masa lalu, namun ternyata marak terjadi saat ini. Banyak keganjilan tentu menjadi pembuktian secara logika bahwa telah terjadi modus tipu daya dari pihak yang mengaku pembeli. Diantaranya adalah ketidaktahuan dari pembeli, bahwa bangunan yang ia akui telah dibayarnya, merupakan pondok pesantren, melainkan bangunan kos-kosan, seperti yang dijelaskan oleh saksi yang ditunjuknya dalam persidangan PN Surabaya Desember 2022 lalu.

Sedangkan dalam Islam jelas, bahwa dalam jual beli, penting diketahui bahwa pembeli harus mengetahui barang yang diperjualbelikan, seperti bentuknya, sifatnya dan harganya agar tidak terjadi kekecewaan diantara kedua belah pihak. Itulah sebab mengapa Islam menekankan praktek khiyar, yaitu memilih untuk memastikan apakah transaksi jual beli dilanjutkan atau dibatalkan, sebagai bentuk upaya pencegahan tipu daya dalam jual beli.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait