BANDAR LAMPUNG, bertalima.com – Saat menghadiri acara peresmian pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) dan Milad Ke-28 Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Tahun 2018, Presiden Joko Widodo mengungkapkan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan mengajak para cendekiawan untuk bersama-sama mencari solusinya.
Sebagai negara besar, Indonesia memiliki kapasitas potensial yang sebetulnya sangat besar, misalnya sumber daya alam seperti batu bara, bauksit, dan kelapa sawit. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, diperlukan terobosan-terobosan seperti hilirisasi industri.
“Saya ambil contoh saja bauksit. Setiap tahun jutaan ton bauksit mentah kita ekspor dengan harga USD35 per ton. Di sisi lain, kita ini lucu, pabrik aluminium kita tiap tahun mengimpor ratusan ribu ton alumina yang merupakan produk hilir dari bauksit. Coba kalau dari dulu kita memiliki industri alumina maka impor itu tidak usah terjadi,” ujar Presiden di Mahligai Agung Convention Hall, Universitas Bandar Lampung, Kota Bandar Lampung, pada Kamis, 6 Desember 2018.
Sebagai salah satu negara produsen minyak Presiden juga memandang pentingnya Indonesia membangun _refinery_. Tujuannya agar Indonesia bisa memurnikan sendiri minyaknya sehingga tidak perlu mengekspor terlalu banyak minyak mentah.
“Juga menghilirisasikan menjadi produk yang lain seperti petrokimia karena kita sekarang ini masih mengimpor jutaan ton produk-produk _petrochemical_,” lanjutnya.
Tidak hanya minyak, Presiden juga menyoroti pentingnya hilirisasi di industri batu bara. Menurutnya, setiap tahun Indonesia menghasilkan 480 juta ton batu bara di mana sekitar 80 juta ton dipakai oleh PLN dan sisanya diekspor dalam bentuk mentah. Padahal dengan teknologi sekarang ini, dengan hilirisasi dan industri, bisa diperoleh turunan dari batu bara ini yaitu LPG, _dimethyl ether_, avtur, dan solar.
“Kita ini mengimpor 4 juta ton LPG. Kita memiliki bahan mentahnya, tapi kita mengimpor LPG nya 4 juta ton. Kenapa berpuluh tahun kita bermasalah karena hal-hal yang seperti tadi saya sebutkan,” imbuhnya.
Demikian halnya dengan industri kelapa sawit di mana Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia. Berdasarkan data yang diterima Kepala Negara, Indonesia memproduksi 42 juta ton kelapa sawit saat ini. Namun, Indonesia selalu menjualnya dalam bentuk bahan mentah.
“Padahal ini yang sudah kita mulai, kita industrialisasi dan hilirisasi, kita bisa menghasilkan solar. Yang telah kita coba sekarang ini solar B20. Dan ke depan kita akan menuju kepada B50, B80, dan B100 sekalian dari CPO minyak kelapa sawit kita agar impor solar bisa kita kurangi,” tuturnya.
Hilirisasi industri nikel juga menjadi bahasan Presiden dalam pertemuan ini. Menurutnya, setiap tahun jutaan ton nikel mentah diekspor dengan harga kurang lebih USD30 per ton. Padahal, dengan hilirisasi industri, nikel bisa menjadi feronikel yang memiliki nilai tambah empat kali lipat.
“Kalau kita bangun hilirisasi industri nikel 100 persen dari dulu, GDP Indonesia dari nikel akan naik empat kali lipat atau naik 400 persen. Ini sebuah kenaikan yang tinggi sekali. Ini yang mungkin nanti insyaallah dalam dua tahun ini akan selesai kita kerjakan mengenai hilirisasi industri nikel kita,” imbuhnya.
Presiden memandang jika terobosan seperti hilirisasi industri tersebut bisa dikerjakan, maka impor bisa dipangkas dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi salah satu masalah dalam bidang ekonomi, yaitu defisit transaksi berjalan atau _current account deficit_.
“Kalau kita bisa menghindari ini (defisit transaksi berjalan), bisa menyelesaikan ini, kita juga bisa menghindarkan diri dari _middle income trap_ sehingga melompat ke sebuah negara maju akan lebih mudah,” tandasnya.
(rr)