“Primus Inter Pares”

  • Whatsapp

(Sekelumit Refleksi Tentang Hubungan Kinerja Pimpinan dan Hakim)

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)

Dalam ensiklopedia bebas, istilah yang sering dikenal di dunia hukum di atas adalah frasa Latin yang sering dimaknai “pertama di antara yang sederajat” atau “yang pertama di antara yang setara”. Dalam bahasa Inggris istilah tersebut sering diterjemahkan dengan “first among equals”. Dalam KBBI primus inter pares diberi arti “yang pertama” ( unggul, terbaik ) di antara sesama.
Frasa ini biasanya digunakan sebagai suatu gelar kehormatan bagi mereka yang secara formal setara dengan anggota lainnya dalam kelompok mereka tetapi diberikan penghormatan secara tidak resmi, yang secara tradisi dikarenakan senioritas mereka dalam jabatan. Secara historis, ‘princeps senatus’ senat romawi merupakan seorang figur yang pada awalnya hanya membedakan bahwa ia diizinkan untuk berbicara pertama kali saat sesi debat. Selain itu, Konstantinus Agung juga mendapat peran sebagai primus inter pares. Kaisar ke-57 Romawi ini adalah putra Plavius Velarius Konstatinus. Namun, istilah ini juga sering digunakan secara ironis atau pengungkapan ketidaksetujuan-diri oleh para pemimpin dengan status lebih tinggi sebagai suatu bentuk penghormatan, persahabatan, ataupun propaganda. Setelah jatuhnya Republik, kaisar-kaisar Romawi awalnya hanya menyebut diri mereka sebagai princeps meski memiliki kuasa atas hidup dan mati “sesama warga negara” mereka. Beragam figur modern seperti Ketua Federal Reserve, perdana menteri rezim parlementer, Presiden Federal Swiss, Ketua Mahkaman Agung Amerika Serikat, dan Patriark Ekumenis Gereja Ortodoks Timur mengandung dua signifikasi dalam jabatan mereka: memiliki status yang lebih tinggi dan berbagai kewenangan tambahan namun tetap masih setara dengan rekan-rekan mereka dalam hal-hal penting.

Sebelum dan menjelang kemerdekaan berbagai gerakan kebangsaan bermunculan. Kemunculan gerakan itu telah melahirkan banyak tokoh nasional, yaitu: Ir. Soekarno, Sjahrir, Mohammad Yamin, Moh. Hatta, Natsir, Roem, Tan Malaka, Abi Kusno, Kasman Singodimedjo, dan sejumlah tokoh nasional lainnya. Semua tokoh itu dengan segenap kelebihan dan kekurangan masing-masing boleh disebut setara. Akan tetapi pada akhirnya ketika Indonesia hanya perlu 2 orang untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden dipilihlah Ir. Soekarno dan Drs.Moh. Hatta masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden. Terpilihnya dua tokoh itu sejatinya bukan berarti 2 tokoh itu paling super di antara para tokoh lain. Tetapi dengan segenap kelebihan dan kekurangan yang ada 2 tokoh itulah yang dianggap tepat memimpin bangsa Indonesia, setidaknya untuk kebutuhan dan tantangan waktu itu. Dua tokoh itu merupakan contoh primus inter pares dari sesama para tokoh nasional lainnya pada zamannya.

Dalam dunia birokrasi sering dikenal sebutan “kepala” dan “ketua”. Sebagai contoh kantor kejaksaan dipimpin oleh kepala sedangkan pada kantor pengadilan pimpinannya disebut “ketua”. Lalu adakah perbedaannya?
Morfem “kepala” itu berarti: orang yang berada di hirarki kedudukan paling atas, struktural; punya bawahan; kekuasannya mengikat. Sedangkan, “ketua” berarti: tidak menunjukkan hierarki, fungsional, punya anggota, dipilih para anggota, tidak mengikat, lebih bersifat koordinasi (kompasiana, 11 April 2017). Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh David Tulaar. (AMERICAINDO.COM, Januari 2020). Menurutnya, “kepala” jelas berbeda dari “ketua”. Kepala mempunyai bawahan, yang sesuai aturannya masing-masing harus tunduk pada perintah dan keputusan kepalanya. Kepala adalah orang yang berada paling atas dalam satu hirarki struktural.

Kekuasaannya mengikat. karena kepala memang memegang komando. Berbeda dengan ketua. Ketua bukan puncak dari satu hirarki struktural. Ketua adalah satu fungsi dalam satu struktur organisasi atau kelembagaan. Ketua tidak mempunyai bawahan, melainkan anggota. Ketua biasanya dipilih dari antara para anggota dan oleh para anggota. Proses pemilihan yang demikian itulah, eksistensi ketua mengikuti prinsip “primus inter pares” artinya: “yang terkemuka di antara yang sederajat”. Ketua adalah bagian dari kepemimpinan kolektif, sehingga keputusannya juga bersifat kolektif. Kekuasaannya tidak mengikat, seperti pada kepala.

Kelembagaan yudikatif tampaknya dapat lebih menjelaskan perbedaan ini. Kejaksaan (Kajari, Kajati) dipimpin oleh seorang kepala, sedangkan pengadilan (Tingkat Pertama dan Timgkat Banding, dan Mahkamah Agung) dipimpin oleh seorang ketua. Kepala Kejaksaan memegang komando. Bawahan dalam hirarki tunduk pada keputusan kepala. Sedangkan Ketua Pengadilan hanyalah salah satu di antara para hakim yang sederajat. Perbedaan ini juga tampak misalnya dalam prosedur pengambilan keputusan. Seorang kepala tidak akan mengumpulkan para bawahannya untuk membuat keputusan lewat pemungutan suara (voting). Keputusan kepala dijalankan begitu saja oleh bawahannya. Sebaliknya, seorang ketua mengambil keputusan dalam musyawarah dengan rekan-rekannya secara kolektif. Jika musyawarah tidak tercapai, dapat diikuti dengan “voting.”
Para pimpinan di Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya pada dasarnya primus iter pares. Pimpinan pengadilan di tingkat pertama adalah primus inter pares dengan para hakim di kantornya, pimpinan hakim tinggi adalah primus inter pares dengan hakim-hakim tinggi yang ada. Demikian pula di Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Agung merupakan primus inter pares dengan para hakim agung yang ada. Bedanya, di Mahkamah Agung pucuk pimpinan dipilih sesama anggota (para Hakim Agung) dan inilah gambaran primus inter pares yang mendekati makna asalnya.

Sedangkan, untuk peradilan di bawahnya jabatan ketua dipilih dan diangkat oleh pejabat pusat yang berwenang. Dalam praktik, karena proses pengangkatan berbeda dengan proses pemilihan Ketua MA, pimpinan peradilan tingkat banding dan tingkat pertama ‘berbeda’ pula dalam hal pergaulan dengan sesama hakim. Dalam pergaulan sehari-hari sering pimpinan menempatkan diri layaknya seorang kepala, seperti memberikan instruksi-intruksi kepada para hakim. Tindakan struktural yang dilakukan ketua adalah sebagai konsekuensi keharusan menjalankan fungsi kepemimpinan. Menurut Sondang P. Siagian, kepemimpinan bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang saat menjabat sebagai pimpinan organisasi tertentu dalam mempengaruhi orang lain, khususnya bawahannya. Dengan demikian, konsekensi adanya kepemimpinan mengharuskan terciptanya hubungan atasan bawahan.

Dengan ilustrasi demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam suatu pengadilan itu sebenarnya terdapat 2 kelompok uraian kerja: administrasi (administrasi umum dan perkara) dan fungsional ( jalannya peradilan itu sendiri). Dalam administrasi sah-sah saja pimpinan pengadilan menjalankan fungsi sebagai seorang kepala. Dia dapat merintah rekan hakim untuk urusan-urusan administrasi (umum dan perkara). Dalam hal yang menyangkut fungsi peradilan (penanganan perkara) pimpinan pengadilan bersatus sebagai ketua. Seorang ketua tidak dibenarkan, meskipun atasan hakim, memberikan perintah-perintah apapun mengenai proses penanganan perkara. Dengan demikian primus inter pares dalam lembaga perdilan sejatinya hanya berada dalam lingkup persoalan fungsional (proses penanganan suatu perkara). Akan tetapi apakah hal demikian berlaku secara mutlak?

Sebagaimana dimaklumi, bahwa ketika hakim menangani suatu perkara pada akhirnya lahir produk bernama putusan. Secara filosofis harus dipahami oleh setiap hakim, bahwa putusan hakim atau majelis hakim yang pada awalnya merupakan putusan yang bersifat individual bagi majelis yang bersangkutan, namun pada saat palu diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat itu putusan harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat kelembagaan. Mengapa demikian, setelah putusan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, tugas Hakim atau Majelis telah selesai dan selanjutnya putusan tersebut menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi milik publik. Bahkan, tanggung jawab moral akibat adanya putusan Hakim atau majelis tersebut akan menjadi tanggung jawab lembaga lembaga peradilan secara keseluruhan. Dalam lingkup domestik, ketua pengadilan yang semula tidak boleh ikut campur dalam proses penanganan perkara pada akhirnya akan menanggung konsekuensi jika putusan yang diambil hakim terdapat kesalahan atau menimbulkan gejolak sosial. Dalam contoh kasus sering terjadi, ketua mengalami kesulitan mengeksekusi putusan akibat adanya amar putusan yang tidak jelas atau didemo masyarakat dengan berbagai aksi anarkis, gegara ada putusan hakim yang dianggap kontroversial.

Narasi di atas bermaksud mengingatkan, bahwa primus inter pares dalam dunia peradilan, harus ditempatkan pada proporsinya. Dalam suatu pengadilan posisi ketua pada satu sisi berstatus sebagai primus inter pares pada di sisi lain juga berfunfsi sebagai pejabat yang harus melaksanakan funsi-fungsi kepemimpunan yang masuk kepada ranah jabatan “kepala”. Apalagi, jika dalam realitas di pengadilan memang terdapat 2 wilayah kerja: administrasi (umum dan perkara) dan teknis (fungsi peradilan). Sebagai primus inter pares pimpinan pengadilan mskipun sebagai pimpinan kantor jelas tidak boleh mencampuri kewenangan hakim atau majelis dalam menangani perkara. Apalagi, sampai mengganggu asas kebebasan hakim. Akan tetapi, fungsi pimpinan yang mempunyai tanggung jawab domestik kelembagaan tidak boleh dipisahkan secara diametral dengan fungsi peradilan (yang dimiliki pata hakim). Dengan kalimat lain, ketua tidak boleh membiarkan begitu saja (apatis) setelah suatu perkara diserahkan kepada para hakim, malainkan tetap harus memonitor seluruh penanganan perkara yang telah diserahkan kepada hakim. Terutama, perkara tertentu yang mengundang perhatian publik pada saat diperiksa dan berpotensi menimbulkan gejolak setelah diputus. Pimpinan dengan segenap kualifikasi personal yang dianggap memiliki kelebihan ( keilmuan dan informasi kelembagaan lebih) tidak boleh membiarkan para hakim ‘bekerja dengan bebas tanpa batas’ dengan alasan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh putusan itu diprediksi tidak ikut menanggung akibatnya, dengan mengatakan; “Biarin, toh sebentar lagi saya sudah dimutasi”.

Pada saat yang sama, para hakim dengan alasan independensi juga tidak dibenarkan menangani perkara seperti “kuda berkaca-mata”. Terus berjalan ke depan tanpa mau melihat dan mendengar pemandangan dan suara dari kanan kiri, dengan memperhatikan saran dan masukan sesama rekan, apalagi pimpinan. Padahal, hakim sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, pendapat-pendapat itu apalagi pimpinan, tentu sangat berguna sebagai pengayaan ide dan pengetahuan (second opinion) untuk menghadapi perkara ‘penting’ yang sedang diperiksa. Oleh karena itu, jangan-jangan berbagai anarkisme yang terjadi di dunia peradilan selama ini, salah satunya disebabkan oleh ketiadaan persepsi yang sama dalam memahami istilah primus inter pares ini. Semoga gejolak masyarakat akibat putusan hakim ke depan dapat dieliminasi. Semoga.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait