Oleh: Saiful Huda Ems
1. Kenyataannya mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua pernah mimpin demo di MK yang menyudutkan Jokowi-MA.
2. Kenyataannya Novel Baswedan, Bambang Widjoyanto (meskipun BW sudah tidak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK) sering membuat statement politik yang menyudutkan Jokowi.
3. Kenyataannya beberapa pimpinan KPK mengundurkan diri beberapa jam setelah Ketua KPK Irjen. Pol. Drs. Firli Bahuri, M.Si. terpilih menjadi Ketua KPK yang baru, disaat para pimpinan KPK itu belum berakhir masa tugasnya.
Ini semua merupakan indikasi bahwa KPK selama ini berpolitik dan ada kecenderungan memberikan dukungan politiknya pada kelompok-kelompok yang selama ini gemar mengeksploitasi isu SARA untuk tercapainya tujuan kekuasaan politik yang ingin diraihnya. Sedangkan KPK bukanlah lembaga politik.
Tidak hanya KPK, banyak pejabat-pejabat negara atau direktur-direktur BUMN yang sudah banyak terpapar virus radikalisme Islam, hingga partisipasi aktif mereka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah seringkali tak terlihat, bahkan kerap memunculkan pembangkangan demi pembangkangan.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka cukup rasional apabila beberapa institusi-institusi strategis seperti Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BNN, Menteri PANRB dan Ketua KPK yang dijabat oleh figur-figur dari unsur kepolisian. Ini semua saya pikir untuk menangkal derasnya pengaruh virus radikalisme itu.
Meski demikian sesungguhnya ada yang lebih penting untuk diperhatikan: bahwa tindakan-tindakan antisipatif seperti itu memang sangat diperlukan demi terciptanya situasi aman dan kondusif bagi negara, akan tetapi jika hal itu berhenti hanya sampai disitu saja, semuanya akan menjadi sia-sia.
Karena itu sudah saatnya para pejabat yang diberikan kepercayaan oleh rakyat segeralah bergerak, tangkap, proses dan penjarakan siapapun yang korup, berbuat makar, pengedar dan pengkonsumsi NARKOBA, serta mereka para pejabat negara yang tak lagi setia pada Pancasila dan Konstitusi Negara !.
Akhiri semua perdebatan soal pro dan kontra revisi Undang-Undang KPK, sebab baik Presiden (Eksekutif) maupun DPR (Legislatif) sudah sama-sama menyetujui adanya revisi UU KPK, meski Presiden Jokowi telah mengajukan beberapa catatan untuk diperhatikan oleh DPR dan wakil dari pemerintah dalam pembahasan revisi UU KPK itu yang antara lain:
1. Presiden Jokowi tidak setuju jika dalam melakukan penyadapan KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal.
2. Presiden Jokowi tidak setuju jika KPK wajib berkoordinasi dengan KEJAGUNG dalam penuntutan.
3. Presiden Jokowi tidak setuju jika penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari unsur kepolisian dan kejaksaan saja, melainkan bisa juga berasal dari unsur ASN.
4. Presiden Jokowi tidak setuju jika perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK diberikan kepada kementrian atau lembaga lain.
Presiden Jokowi juga menyatakan tidak akan pernah mau kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi baginya merupakan musuh kita bersama.
Saya pikir semuanya semakin menjadi jelas, bahwa revisi UU KPK itu memang sangat diperlukan, hanya sekali lagi semuanya akan menjadi sia-sia manakala revisi UU KPK dan pergantian kepemimpinannya itu nanti tidak melakukan aksi nyata dalam pemberantasan korupsi-korupsi besar yang mengancam negara.
Saatnya koruptor dan para bedebah penghianat negara diringkus segera ! Jangan lagi mereka diberi keleluasaan untuk mengobrak-abrik keutuhan negara dengan menghalalkan prilaku korup dan hendak merubah ideologi negara. Korupsi dan Radikalisme itu sama-sama berbahaya, dan harus segera ditumpas tanpa menunggu lama-lama !…(SHE).
15 September 2019.
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis.