Jakarta | beritalima.com – Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi menilai produk ekonomi Syari’ah perlu direspon dengan penguatan dan pengembangan literasi Fikih. Sehingga, kajian Fikih tidak hanya berhenti pada bahasan jual beli secara umum.
Kendati ditunjang keberadaan sistem informasi dan telekomunikasi, namun fikih ekonomi selalu datang belakangan, sebatas memberikan legalisasi status kehalalan atau keharaman produk ekonomi. Walaupun Mekanisme transaksi kini mudah dilakukan secara online dengan beragam bonus yang ditawarkan, baik melalui dropship, pay order, atau lainnya.
“Literasi Fikih ekonomi perlu terus dikembangkan dan disosialisasikan agar bisa memberikan edukasi kepada masyarakat,” tegas Wamenag secara virtual, saat berbicara pada webinar tentang “Grand Strategy Pengembangan SDM Ekonomi Islam Berbasis Link and Match Solusi SDM Unggul, Indonesia Maju”, Selasa (29/12/2020).
Akibatnya, kajian Fikih hanya mencoba menggali padanannya saja, seperti bunga bank padanannya adalah mudharabah, padanan kredit kepemilikan rumah (KPR) adalah “aqdul ijarah al-muta’akhar bittamlik” dan sejenisnya.
“Seyogyanya, keadaan fikih ekonomi yang biasanya hanya memberikan judgement, sekarang harus dibalik. Bagaimana sebuah produk ekonomi yang akan berjalan harus dilandaskan atau dikonsultasikan terlebih dahulu sebelum berjalan di tengah masyarakat,” tutur Wamen.
Terkait ini, Wamenag menawarkan beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan sebagai bagian dari grand strategy penyiapan SDM Ekonomi Syariah. Pertama, menerjemahkan visi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024, secara operasional dalam kurikulum pendidikan.
“Saya juga menyarankan untuk melibatkan pesantren-pesantren yang memiliki resources fiqh ekonomi, karena mereka memang memiliki turats-nya,” lanjutnya.
Kedua, standarisasi kurikulum untuk mempersiapkan lulusan dengan kompetensi keilmuan fiqh ekonomi yang handal, baik di perguruan tinggi maupun pesantren. Kurikulum tersebut harus dapat mencetak orang-orang yang memiliki standar tinggi, bukan sekedar SDM dengan kualitas “tenaga kerja/kuli”.
Ketiga, pelibatan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan atau lembaga-lembaga fatwa pada ormas, misalnya LBM-NU atau Majelis Tarjih Muhammadiyah yang concern dalam pengembangan ekonomi syariah. Komponen ini lebih intens terlibat di tengah masyarakat, karena mereka yang memiliki masyarakat.
“Lembaga ini juga akan berpartisipasi aktif dalam mensosialisasikan secara intensif hasil keputusannya ke tengah masyarakat,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Wamenag juga mengajak para ahli untuk dapat mewarnai dunia perekonomian Indonesia bahkan dunia dengan ekonomi Islam. Wamenag yakin Indonesia bisa melakukannya. Sebab, Indonesia sudah memiliki bahan dasar untuk pengembangan lebih lanjut ekonomi syariah di tanah nusantara.
Bahan dasar itu antara lain berupa keberadaan KNEKS yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020, dengan Wapres, KH Ma’ruf Amin, sebagai ketua hariannya.
Indonesia juga sudah memiliki Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024 yang telah diluncurkan Presiden Jokowi 14 Mei 2020 dan bahkan menargetkan Indonesia menjadi minimal 3 besar ekonomi Islam terbaik dunia.
“Kedua hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah memandang bahwa ekonomi syariah memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional,” tegasnya.
Reporter : Dedy Mulyadi