JAKARTA, Beritalima.com– Wacana peleburan mata Pelajaran Agama dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang sudah menjadi pembahasan dalam Focus Group Discussion (FGD) secara terbatas yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum dilempar ke publik.
Kalau ada ide itu, kata anggota Komisi X DPR RI membidangi Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, Olahraga, Parawisata dan Ekonomi Kreatif (Ekraf), Prof Dr H Zainuddin Maliki dalam keterangan tertulis melalui WhatsApp (WA) yang diterima Beritalima.com, Kamis (18/6) siang, ya tentu saja tidak kontekstual dan itu ahistoris atau berlawanan dengan sejarah.
Artinya, kata tokoh pendidikan dari Jawa Timur tersebut, pemikiran seperti itu tidak memiliki akar budaya, akar kehidupan bangsa Indonesia yang religius.
Kemudian, kalau membuat isi kurikulum seperti itu, pendidikan agama dikurangi jam, agama menjadi digabung dengan budi pekerti, PKn, jamnya menjadi sangat sedikit. “Itu tidak mencerminkan akar budaya bangsa. Para Founding Fathers kita dulu merumuskan Pancasila dan kemudian menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, itu berangkat dari peta dan akar budaya bangsa Indonesia yang religius,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Jawa Timur 2003-2012 tersebut.
Memang, jelas politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut, ada negara-negara barat yang menjadikan agama tidak masuk sebagai mata pelajaran. Namun, akar budayanya berbeda dengan yang dimiliki bangsa Indonesia.
“Bahkan ketika ke Inggris saja, saya ke sebuah sekolah menengah atas, SMA Trinity di London. Di sana, saya memperoleh penjelasan, pelajaran agama itu diajarkan di Inggris mulai Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi. Pelajaran agama diajarkan selama itu. Saya pulang membawa buku pelajaran agama untuk SMP,” kata wakil rakyat dari Dapil X Provinsi Jawa Timur tersebut.
Lebih jauh dijelaskan laki-laki kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, 7 Juli 1954 tersebut, agama siswa di Inggris berbeda-beda. Karena itu, di dalam bukunya ada pelajaran agama yang macam-macam tetapi di satu buku pelajaran agama. “Di dalamnya ada pelajaran agama Kristen, Katolik, Konghucu, Islam, Hindu, Budha, dan agama lainnya dalam satu buku. UU Sisdiknas kita sebenarnya juga mengacu konsep seperti itu. Jadi, mata pelajaran agama, siswa kita diajarkan sesuai dengan agama siswa tersebut.”
Misalnya, papar Zainuddin, ada anak yang beragama Katolik sekolah di Madrasah. Di Madrasah itu siswa tersebut harus dijarkan agama Katolik walau di sekolah itu yang bersangkutan hanya sendiri yang beragama Katolik. Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang Islam sekolah di sekolah Katolik, di sekolah itu harus mengajarkan agama Islam untuk siswa bersangkutan.
“Di Inggris seperti itu. Bukunya masih saya simpan sampai sekarang. Nah, Inggris saja menempatkan agama secara khusus seperti itu. Lah, Indonesia yang punya akar budaya bangsa yang religius, saya kira haruslah agama mendapatkan porsi yang proporsional di dalam kurikulum kita.,” jelas pakar ilmu sosial ini.
Karena ide dan gagasan ini belum digulirkan dan konsepnya belum menjadi konsumsi publik secara luas, kata Zainuddin, saya ingin menanggapinya begini, jangan muncul ada pemikiran begitu. “Jangan ada pemikiran kurikulum disusun tidak berangkat dari akar budaya bangsa yang religius. Kalau ada pemikiran seperti itu, maka ini sama dengan mencerabut pendidikan dari akar budaya bangsa yang religiusm: demikian Prof Dr H Zainuddin Maliki. (akhir)