beritalima.com – BEBERAPA tahun setelah Orde Baru tumbang, keluarga Cendana serta para pendukungnya berusaha bangkit melalui Siti Hardijanti Rukmana. Putri tertua Soeharto itu mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)dan ikut pemilu legislatif 2014.
Sayang, partai yang dipimpin mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), R Hartono tersebut gagal ke Senayan karena hanya memperoleh 2,11 persen suara secara nasional dan 2 kursi untuk DPR RI.
Padahal, UU Pemilu Legislatif (Pileg) kala itu menetapkan Parliamentary Threshold (PT) untuk duduk di Senayan 2,5 persen suara nasional. Demikian pula pada Pemilu 2009, PDKB juga tidak lolos ke Senayan.
Kini keluarga Cendana berusaha bangkit dengan Partai Berkarya binaan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra bungsu almarhum penguasa Orde Baru tersebut.
Bahkan Siti Hediati Hariyadi akrab dengan panggilan Titiek Soeharto, satu-satunya keluarga Cendana di parlemen, rela meninggalkan kursi DPR RI dari Fraksi Partai Golkar untuk membesarkan Partai Berkarya.
Mampukah Berkarya yang dideklarasikan menjelang pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) lolos ke Senayan dan mengembalikan nama besar Soeharto dalam kancah perpolitikan negeri ini?
Pertanyaan itu pantas dilontarkan masyarakat kepada partai Berkarya. Bagaimana juga Soeharto bersama Orde Baru pernah memimpin negeri ini beberapa dekade.
Apa nasib Berkarya sama dengan PDKB sebagai ‘penggembira’ dalam perpolitikan nasional karena gagal menempatkan kadernya di parlemen akibat tidak mencapai PT sesuai isi UU Pemilu Legislatif.
UU No: 7/2017 Pasal 414 dan 415 tentang Pemilihan Umum Legislatif menetapkan PT 4 persen. Meraih suara 4 persen tak mudah. Jangankan pendatang baru seperti Berkarya, PSI, Perindo serta Idaman, partai sudah eksis di parlemen saja terancam tidak lolos ke Senayan.
Sebut saja Hanura yang kelahirannya dibidani Menkopolhukam Jenderal Purnawirawan TNI Wiranto, Nasional Demokrat pimpinan Surya Paloh, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang disebut-sebut rumahnya umat Islam.
Karena itu, sangat wajar kalau masa kampanye panjang dimanfaatkan parpol itu semaksimal mungkin untuk mengenalkan partai mereka kepada masyarakat.
Perindo misalnya, partai Hary Tanoesoedibjo itu jor-joran mengenalkan partainya kepada masyarakat. Bahkan berbagai program langsung menyentuh masyarakat mereka buat. Media cetak, sosial dan televisi dimanfaatkan untuk memperkenalkan Perindo.
Demikian pula PSI pimpinan Grace Natalia. Untuk mempopulerkan PSI, kader partai tidak segan mengeluarkan pernyataan berseberangan dengan masyarakat terutama umat Islam.
Bagaimana dengan partai Berkarya? Selama ini partai dipimpin Tommy Soeharto ini hanya mengandalkan nama besar orang tuanya selain menempatkan keluarga Cendana dan orang sekitar sebagai caleg.
Kader Berkarya tidak banyak yang turun ke masyarakat termasuk alat peraga kampanye partai juga tidak tampak. Kegiatan sosial Berkaya di tengah masyarakat sangat minim.
Mereka mendatangi masyarakat tanpa membawa buah tangan. Boleh disebut, para kader termasuk petinggi partai Berkarya hanya lenggang kangkung untuk menarik hati pemilih.
Dengan cara itu, apa mungkin bisa mendapatkan suara rakyat? Apalagi untuk para pemilih milenial karena mereka tidak merasakan atau belum melekketika Orde Baru berkuasa lebih dari 32 tahun.
Mungkin masa itu mereka belum lahir atau masih menyusu sama orang tua, belajar berjalan atau baru mengerti minta uang untuk membeli kue yang lewat di depan rumah atau permen di warung tetangga.
Yang merasakan Orde Baru berkuasa itu hanyalah pemilih tua. Bahkan sebagian besar dari yanghidup zaman demokrasi terpimpin tidak lagi mempunyai hak pilih karena sudah dipanggil ke alam lain.
Jumlah mereka menyusut drastis. Dan, itu tidak semuanya bakal memilih kader partai Berkarya. Jumlah pemilih milenial pada pemilu mendatang jauh lebih banyak dibanding pemilu legislatif lalu.
Sudah tertutupkah jalan buat Berkarya untuk mendapatkan kursi di parlemen? Tentu belum. Untuklolos ke Senayan, partai Berkarya harus memaksimalkan potensi dan waktu yang ada untuk menyapa warga dan menyampaikan visi dan misi partai kepada masyarakat.
Untuk itu, petinggi partai Berkarya harus memerintahkan calon legislatif yang diusung termasuk kader turun dengan membantu sangu mereka untuk buah tangan ke masyarakat.
Kesemuanya itu, membutuhkan dana karena harus diingat, biaya yang harus dianggarkan seorang caleg untuk ke parlemen tidaklah sedikit.
Hasil nguping-nguping, untuk duduk di DPR RI paling tidak seorang caleg menyiapkan anggaran di atas Rp 5 milyar.
Dengan anggaran sebanyak itu saja belum tentu kursi yang diimpikan dapat diraih, apalagi kalau anggaran yang tersedia kurang atau jauh dari cukup. Untuk meraih kursi DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota biayanya memang tidak sebanyak itu. Tetapi tetap saja besar.
Memang banyak yang hidup masa Orde Baru dan Soehartoisme ingin Berkarya menempatkan kadernya di Senayan untuk memperjuangkan aspirasi terutama menengah ke bawah yang tidak sulit mendapatkan sembako dengan harga stabil.
Namun, pertanyanan mendasar yang mereka ajukan adalah bagaimana cara partai Berkarya dapat meraih kursi di Senayan dan strategi apa pula mau diterapkan?
Memang partai keluarga Cendana ini dinilai punya logistik tambun. Tapi, mereka sepertinya tidak pandai atau tak siap mengelola Berkarya menjadi partai besar. Malah terlihat gagap mengelola partai.
Simak saja, pola kampanye lapangan yang dilakukan hanya semacam seremonial dan repetisi, tidak populis, bahkan tidak bersentuhan dengan kaum milenial kelompok pemilih terbesar.
Sedangkan kita ketahui bahwa Pileg 2019 adalah pertarungan melawan persepsi masyarakat, sehingga dapat dipastikan bahwa para Caleg tidak bisa lagi hanya sekedar memajang photo pada baliho dan kemudian berharap bisa terpilih.
Figursentral partai Berkarya seperti Siti Hardianti Rukmana yang akrab disapa Tutut Soeharto, dalam beberapa kunjungannya ke Banten baru-baru ini gagal mengugah minat media nasional untuk meliput.
Padahal, keberadaan putri sulung keluarga Cendana itu diharapkan dapat menarik perhatian publik sehingga menimbulkan efek elektoral bagi para Caleg dan partai Berkarya di masyarakat.
Kita tarik kesimpulan, Berkarya tidak punya strategi kampanye, bahkan seperti partai baru yang kekurangan logistik. Tommy selaku figur sentral yang dianggap mampu mendongkrak populeritas dan elektabilitas partai justru gagal memahami perannya sebagai Ketua Umum.
Kegiatan kepertaian yang dilakukan tidak lebih sebatas sebagai Caleg dari Dapil Papua. Bagaimana mungkin dengan pola minus strategi itu Berkarya berharap lolos Parliamentary Threshold 4 persen?
Untuk lolos PT, Tommy harus mengubah strategi, memberi caleg dan kader sangu untuk bertempur di lapangan. Tanpa itu, Tommy tidak usah mimpi menempatkan kader di parlemen. Semoga.
Catatan pendek Akhir Rasyid Tanjung (wartawan parlemen)