Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Banyuwangi)
Dalam salah satu hadits qudsi, Allah berfirman : “Setiap amal anak Adam (pahalanya) untuknya, kecuali puasa. Susungguhnya puasa itu untuk-Ku dan hanya aku yang akan membalasnya….”. Hadits tersebut terdapat dalam Kitab Shahih al-Bukhary Juz 1. Di bulan ramadhan ini, para da’i, ustadz, kiyai sering mengutip hadits ini sebagai bahan tausiahnya. Pastinya, dengan berbagai uraian yang beragam pula. Akan tetapi, pada intinya sama. Semuanya ingin menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah yang berbeda dengan ibadah yang lain. Perintah puasa ramadhan yang diperintahkan melalui surat Al Baqarah 183 ini dari segi keutamaannya memiliki kekhasan dibanding dibanding ibadah lainnya. Akan tetapi benarkah uraian itu. Tentu perbedaan cara dan isi uraian sah-sah saja. Sebab, hal ini adalah berpulang pada kapasitas ilmu yang dimiliki masing-masing. Dan, yang pasti ini hal ini menyangkut interpretasi sebuah teks ajaran agama yang memang memungkinkan untuk diperdebatkan ( debatable).
Mengenai hal ini jauh sebelumnya, sudah diwacanakan oleh para ulama. Salah satu kitab yang memuat wacana mengenai interpretasi hadits di atas adalah Kitab Fath al-Bari karangan Ibnu Hajar al-Asqalani. Dalam kitab ini ditulis 10 pendapat ulama tentang makna kalimat “….. puasa itu hanya untuk-Ku dan Aku pula yang akan membalasnya” , yaitu :
1. Bahwa puasa itu adalah satu-satunya ibadah yang tidak dapat dimasuki riyak ( tidak dapat dipamerkan ).
2. Bahwa yang tahu kadar pahala dan pelipatgandaannya hanya Allah sendiri. Tidak seperti ibadah lainnya. Rasulullah SAW bersabda : Setiap amal kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan 10 kali kebaikan sampai 700 kali bahkan sampai berapapun Allah menghendaki kecuali pahala puasa.
3. Bahwa puasa adalah ibadah yang paling disukai Allah dibanding semua ibadah lainnya;
4. Bahwa penyebutan “puasa itu untuk Aku dst…” dalam rangka idlofatut tasyrif ( penyandaran kemuliaan). Dalam kehidupan sehari-hari, seperti : cincin. Kalau disandarkan kepada Presiden tentu akan berbeda nilainya dengan jika disandarkan kepada orang biasa. Sekalipun sama-sama cincin.
5. Bahwa orang puasa yang sedang dalam keadaan makan dan minum dan segala syahwat dunia pada hakikatnya sedang berada dalam sifat ketuhanan.
6. Sama dengan yang kelima, hanya saja bukan disamakan dengan sifat-sifat ketuhanan tetapi sifat-sifat malaikat ( yang juga tidak makan dan minum serta berhubungan seksual ).
7. Bahwa yang dapat pujian hanya Allah dan bukan pelaku puasa. Berbeda dengan ibadah lainnya yang pelaksanaannya dapat mendapat pujian manusia. Seperti shalatnya khusuk sedekahnya banyak. Kalau puasa tidak. Puasanya khusuk, puasanya baik. Paling-paling orang hanya mengatakan orang itu sering puasa. Tentang kualitas puasanya bagaimana,hanya Allah yang tahu.
8. Bahwa puasa adalah satu-satunya ibadah yang dimaksudkan untuk ibadah hanya kepada Allah. Bukan untuk selain Allah. Berbeda dengan salat, sedekah, dan tawaf.
9. Bahwa puasa adalah satu-satunya ibadah yang pahalanya, besuk di akhirat, tidak bisa dikurangi untuk orang-orang yang kita dhalimi.
10. Bahwa puasa adalah ibadah yang tidak dapat dilihat kecuali oleh siapapun, kecuali oleh Allah. Termasuk oleh oleh malaikat yang biasanya mencatat dan oleh setan yang biasanya merusaknya. Hanya saja yang dimaksud puasa di sini adalah puasa orang yang memang steril dari maksiyat, baik yang berupa perkataan, perbuatan, dan perbuatan.
Pendapat mana yang paling shahih?. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menilainya.
Yang pasti sekalipun puasa itu memiliki kelebihan dan berbeda dibanding dengan ibadah lainnya. Akan tetapi, puasa adalah perintah Allah juga. Sama dengan perintah-perintah Allah lainnya, puasa harus dilaksanakan. Oleh karena wajib, maka berpahalalah bagi yang melaksanakan dan berdosa bagi yang enggan melakukan. Kita semua yakin, bahwa tidak satupun perintah Allah steril dari maksud. Tentang maksud peribadatan ini telah dikupas panjang lebar oleh para ulama ushul fiqh dengan titel maqashid al-tasyri’. Dan, pembahasan itu masuk dalam wilayah pembahasan filsafat hukum.
Lalu apa maksud disyari’atkan puasa? Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa tidak meninggalkaan perkataan dusta maka tidak ada artinya dia meninggalkan makan dan minum.” Dengan demikian ada sesuatu yang harus dilihat sebagai efek puasa kita. Secara tegas Allah SWT menyebut bahwa tujuan orang puasa yang setiap tahun kita lakukan adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa. Tampaknya tujuan ini sangat abstrak. Akan tetapi, dengan melihat makna takwa tidaklah seabstrak yang kita bayangkan. Sebab, orang yang bertakwa adalah orang secara total mengikuti perintah Allah dan meninggalkan segenap larangan-Nya. Dalam kehidupan nyata perintah dan larangan itu di samping berdimensi vertikal, yaitu dalam bentuk hubungannya dengan Tuhan secara personal juga yang berdimensi horisontal, yaitu dalam bentuk hubungan dengan sesama. Yang berdimensi vertikal, seperti salat, puasa, dan segenap ibadah mahdhah lainnya. Yang berbentuk horisontal, seperti perintah tolong menolong, bersedekah, tidak menyakiti orang lain, baik dengan perbuatan ataupun perkataan. Lalu berhasilkah puasa kita, jika setelah puasa kita masih ogah-ogahan salat. Atau, sudah puasa sebulan tetapi masih belum peka dengan kesusahan yang dialami orang di sekeliling kita, suka berbuat onar?. Sebagai evaluasi puasa kita, agaknya kita perlu terus melakukan refleksi diri terus-menerus, sekarang dan pascaramadhan nanti.
Wallahu A’lam.
Wallahu a’lam.