Agus R Sarjono
Sebuah berita menghebohkan mengenai penjualan buku puisi muncul pada hari Selasa 28 Juli 2015. Berita itu berbunyi: “Buku puisi esai Denny JA berjudul Fang Yin’s Handkerchief (Sapu Tangan Fang Yin) berhasil menjadi best seller atau terlaris di toko buku online terbesar dunia, Amazon.com. dan bertengger di rangking pertama kindle store kategori puisi dunia.” Berita mengejutkan itu muncul di berbagai media antara lain GATRAnews, AntaraNews, VivaNews, Tribunnews, deKandidat.com, dan sebagainya. Buku kategori puisi terlaris di kindle store itu bukan puisi yang lazim, melainkan jenis puisi yang tak lazim, yaitu puisi esai.
Tapi, apakah “puisi esai” itu? Mereka yang tidak aktif di dunia sastra dan tidak getol mengikuti heboih-heboh media sosial di internet tidak akan mendapat jawaban dari pertanyaan pelik ini, karena lema “puisi esai” tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Hal ini berbeda dengan situasi sekarang. Sekarang jika kita membuka kembali KBBI, nama puisi esai kini sudah muncul di sana. Berikut adalah keterangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni kamus resmi yang dikeluarkan Badan Bahasa Republik Indonesia. “Puisi Esai adalah ragam sastra berisi pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dan pola tertulis berbait-bait, berupa fakta, fiksi, dan catatan kaki” Beberapa tahun lalu lema ini tidak akan kita temukan, karena Puisi Esai memang sebelumnya sama sekali tidak dikenal. Ia baru muncul 8 tahun lalu, yakni tahun 2012, ketika Denny JA menerbitkan bukunya Atas Nama Cinta.
Buku itu diberi label “puisi esai”, suatu bentuk dan nama yang tak dikenal sebelumnya.
Adalah sebuah kejutan prestisius bahwa istilah “puisi esai” itu secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya—hanya 8 tahun sejak kelahirannya—sudah resmi diakui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kini, jika kita mengetik kata puisi esai di google, maka hasilnya tidak kurang dari 1.480.000. Hasilnya akan lebih ramai jika yang diketik adalah nama Denny JA sang penggagasnya (hasilnya akan sekitar 11.100.000).
Demikian pula jika kita mengetik nama puisi esai di youtube, maka akan bermunculan berbagai saran ke pembacaan puisi esai, animasi puisi esai, film puisi esai, diskusi puisi esai, dan berbagai hal berkaitan dengan puisi esai dan Denny JA sang pencetusnya.
Puisi esai, khususnya puisi esai Denny JA, mungkin merupakan puisi yang paling banyak dialihwahanakan di Indonesia. Alih wahana itu bahkan terjadi cukup awal, yakni tidak terlalu jauh dari masa terbitnya buku puisi esai yang pertama, yaitu Atas Nama CInta (2012).
Saat itu masing-masing puisi esai dalam Atas Nama Cinta sudah digarap dalam bentuk dramatic reading yang melibatkan unsur multimedia, divideokan, dan diunggah untuk disosialisasikan secara daring.
Alih wahana awal berupa dramatic reading multimedia ini dilakukan oleh tokoh yang tidak asing dalam sastra Indonesia. Berikut rinciannya, • Putu Wijaya dan Teater Mandiri membawakan “Sapu Tangan Fang Yin”• Putu Wijaya dan Niniek L Karim membawakan “Bunga Kering Perpisahan”• Putu Wijaya dan Sutardji Calzoum Bachri membawakan “Minah Tetap Digantung”• Fatin Hamama dan Sujiwo Tejo membawakan “Romi dan Yuli dari Cikeusik” Sementara “Cinta Terlarang Batman dan Robin” dibuat film pendek dengan sutradara Qurrota ‘Ayun (diperankan oleh Apritzal Kurniawan dan Rifqi Fakhruddin). Atas Nama Cinta, selanjutnya juga dialihwanakan ke film dengan sutradara berbeda-beda, sebagai berikut: • “Sapu Tangan Fang Yin” disutradarai oleh Karin Bintaro dengan para aktor/aktris: Leoni Vitria, Hartanti Reza Nangin, dan Verdi Solaiman.
• “Romi dan Yuli dari Cikeusik” disutradarai oleh Indra Kobutz dengan para aktris/aktor: Zascia Adya Mecca, Ben Kasyafani, dan Agus Kuncoro.
• “Minah Tetap Dipancung” disutradarai oleh Indra Kobutz dengan para aktris/aktor: Vitta Mariana, Saleh Ali, dan Peggy Melati Sukma.
• “Cinta Terlarang Batman dan Robin” difilmkan dengan judul “Cinta yang Dirahasiakan”, disutradarai oleh Rahabi MA dengan para aktor: Rizal Syahdan, Zack Nasution, dan Tio Pakusadewo.
• “Bunga Kering Perpisahan” disutradarai oleh Emil Heradi dengan para aktris/aktor: Rawa Nawangsih, Arthur Brotolaras, dan Teuku Rifku Wikana. Puisi esai yang sudah difilmkan dan dibuatkan video klipnya tersebut dapat ditayangkan dan digunakan sebagai bahasan simulasi dalam berbagai event.
Itu antara lain: pertemuan korban tragedi kekerasan bulan Mei 1998, peringatan hari lahir Pancasila di Taman Ismail Marzuki, dan momen hari buruh memperingati kematian Ruyati, TKW Indonesia yang dipancung di Arab Saudi.
Selain dalam bentuk dramatic reading dan film, buku puisi esai Atas Nama Cinta juga dialihwahanakan dalam bentuk lukisan, foto, musikalisasi puisi dan lain-lain.
Puisi esai itu kemudian juga diangkat menjadi film dengan sutradara Hanung Bramantyo. Lima film bertema antidiskriminasi hasil kolaborasi Denny JA dengan sutradara Hanung Bramantyo itu diputar dalam festival film bergengsi Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) VIII di Yogyakarta.
Hanung Bramantyo menggarap semua puisi esai dalam buku Atas Nama Cinta, yakni: “Sapu Tangan Fang Yin”, “Romi dan Juli dari Cikeusik”, “Cinta Terlarang Batman dan Robin”, “Bunga Kering Perpisahan”, dan “Minah Tetap Dipancung”.
Film tersebut diputar dalam sesi Spesial Program: Film for Social Movement di Teater Budaya Yogyakarta pada Kamis (5/12) pukul 15.00-18.000 WIB.
Sebelumnya, film-film tersebut telah diputar di beberapa kegiatan gerakan sosial dan budaya di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia dalam rangka kampanye Indonesia Tanpa Diskriminasi yang digagas Yayasan Denny JA untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi”.
Memang sebagaimana puisi esainya, kelima film tersebut berkisah tentang diskriminasi dalam berbagai bentuk yang kerap terjadi di Indonesia.
Menyusul buku puisi Atas Nama Cinta dari Denny JA sang penggagas puisi esai, terbit pula sejumlah buku puisi esai yang ditulis oleh kalanngan aktivis, cendekiawan, dan kaum profesional yang segera disusul oleh Lomba Menulis Puisi Esai yang membuat puisi esai makin meluas dikenal.
Dalam lomba tersebut berbaurlah para sastrawan, aktivis, profesional, dan akademisi. Ramai-ramai mereka mencoba berekspresi dengan genre baru ini.
Suasana makin heboh dan semarak dengan terlibatnya sejumlah sastrawan menulis puisi esai digerakan oleh penyair Fatin Hamama dengan kegiatan “Penyair Kondang Menulis Puisi Esai”.
Dan belum lama ini, terbit 34 buku, berisi 176 puisi esai karya para penulis dari Aceh hingga Papua. 34 puisi esai dari 176 itu akan dijadikan 34 film yang memotret dunia batin Indonesia dari Aceh sampai Papua.
Sekarang ini, ratusan puisi esai—yang masing-masingnya 10-20 halaman, bahkan ada yang satu puisi esai berisi 300-an halaman—telah ditulis dan dipublikasikan.
Tidak hanya dari Aceh hingga Papua, puisi esaipun telah merambah ke negara-negara tetangga dan ditulis serta dibincangkan di Malaysia, Brunei, Singapura, dan bahkan Thailand.
Denny JA sendiri rupanya tidak berhenti berkarya. Susul-menyusul buku puisi esainya terbit ke tengah khalayak, yakni Kutunggu Di Setiap Kamisan (2015), Roti Untuk Hati (2016), dan Jiwa Yang Berzikir (2018).
Seluruh karya tersebut telah dialihwahanakan dalam bentuk film animasi, selain beberapa disajikan juga dalam bentuk dramatic reading.
Alih wahana puisi esai ke bentuk komik atau grafic poem (saudaranya grafic novel) juga dilakukan.
Bahkan, buku puisi esai Denny JA Kutunggu di Setiap Kamisan boleh dibilang terbit dalam bentuk puisi esai grafis. Setiap halaman berisi sebait puisi esai dengan gambar yang nyaris memenuhi halaman tersebut.
Generasi milenial nampaknya menyukai bentuk semacam ini. Hal ini terlihat saat lomba Vlog mengulas puisi esai. Dari empat buku puisi esai Denny JA, yang paling banyak dipilih peserta adalah buku Kutunggu di Setiap Kamisan yang penuh gambar tersebut. Mengenai Lomba Vlog, akan dibicarakan kemudian.
Puisi esai Roti untuk Hati, misalnya, selain dibuat film, juga dibuat versi film animasinya, antara lain:
• “Burung Trilili – Bertengkar untuk Persepsi”,• “Naga Seribu Wajah – Khayalan Menjadi Pegangan”,• “Karena Kucing Anggora – Hal Sepele Menjadi Pokok”,
• “Kisah Kitab Petunjuk – Yang Tercetak Kalahkan Yang Hidup”,• “Mencari Raja di Raja – Yang Ada dan Yang Ilusi”,• “Sidang Raya Agama – Yang Tampak dan Yang Hakekat”,
• “Balada Wahab dan Wahib – Islam vs Islam”,• “Menyelam Ke Langit”,• “Terkejut oleh Riset – Bahagia dan Agama”,• “Dua Wajah Ahli Agama”,
• “Hikmah Singapura – Agama di Sekolah”,• “Lotre Kehidupan – Mujur dan Malang”,• “Mimpi Sepeda Ontel – Berani Beda”,• “Perguruan Bahagia – Api atau Abunya?”, • “Balada Aneta – Kesadaran dari Kesalahan”,
• “Robohnya Menara Kami – Pemurnian Agama atau Sinerji?”,• “Ambruknya Sang Raksasa – Gagasan versus Rupiah”,• “Barat Lebih Islami ? – Substansi atau Label”,• “Berburu Bahagia (Kisah Timun, Telur, dan Rempah)”,
• “Mawar Yang Berdarah – Persepsi versus Realita”,• “Berburu Tuhan (Petuah Tiga Guru)”,• “Ustad Yang Gay – Nature vs Nurture”,• “Mawar Yang Berdarah – Persepsi versus Realita”, dan sebagainya. Film animasi ini, dibaca dan diisi suaranya oleh Monica Anggi Puspita dan Lili Sudraba. Komposisi video dan editing film animasi ini dilakukan oleh Diky Permana, ilustrasi animasinya dibuat oleh Hubton Indonesia, sementara musiknya digarap oleh Iqbal CK.
Puisi esai yang juga dialihwahana ke film animasi adalah puisi esai-puisi esai Denny JA dalam buku Jiwa yang Berdzikir, seperti:
• “Bertahanlah Sejengkal Lagi”,• “Berburu Bahagia”,• “Cinta Tuhan Semata”,• “Berburu Tuhan”,• “Angin Yang Menyusup ke Hati”,
• “Suara Sang Guru”,• “Tapi Bukan Kami Punya”,• “Esok Pagi, Terap Tak Pasti”,• “Kampungku Sayang, Kampungku Celaka”,dan banyak lagi. Selain serial film animasi berdasar puisi esai Roti untuk Hati, serta Jiwa yang Berdzikir, ada juga sejumlah puisi esai lepas yang dialihwahana ke film animasi, seperti “Where Did the Activists Go”, “Tears of Rohingya”, “Kakak Aku Dikarantina Di Masjid”, atau “Papua Yang Tak Henti Mencintai Indonesia”, misalnya.
Dilihat dari jenis dan terutama jumlahnya, maka proses alih wahana puisi esai-puisi esai Denny JA bisa dibilang yang paling banyak dan paling beragam di Indonesia: teater, dramatic reading, musikalisasi puisi, lukisan, film, dan film animasi.
Namun, apa sebenarnya yang membuat Denny JA menggerakan hal ini?
-000-
Delapan tahun lalu, Denny JA digelisahkan pertanyaan berikut ini: “Mengapa ruang publik kita memerlukan lebih banyak puisi? Mengapa sebaiknya dalam kehidupan sosial tak hanya didominasi oleh kekuasaan politik dan tabel angka ekonomi, namun juga diwarnai oleh gairah, mimpi, dan keindahan puisi?”
Namun apa daya, sejak seratus tahun ini puisi semakin tersingkir dari ruang publik. Ujar Gioia, puisi kini berhenti sebagai agen utama pengubah budaya. Ia hanya beredar di acara kesenian, dan di kalangan sesama penyair, serta peminat yang semakin kecil.
Bahkan National Book Award di Amerika Serikat sejak tahun 1985 tak lagi punya kategori untuk buku puisi terbaik. Dari situ, Denny JA mencari kemungkinan bagi bentuk puisi yang mudah memasyarakat sekaligus kompatibel bagi gerakan Indonesia tanpa Diskriminasi-nya.
Ia kemudian menemukan tiga landasan baginya untuk mulai menulis apa yang kemudian ia sebut sebagai puisi esai. Ketiga landasan tersebut, dalam bahasa Denny JA sendiri adalah sebagai berikut: Pertama adalah pernyataan John F. Kennedy. Ujar Kennedy, jika kekuasaan membuat manusia congkak dan angkuh, puisi mengingatkan keterbatasannya.
Jika kekuasaan membuat manusia harus fokus dan menyempitkan hidupnya, puisi mengingatkan keluasan dan kedalaman hidup manusia. Jika kekuasaan cenderung mengotorkan jiwa, puisi membersihkannya.
Kennedy mengingatkan pentingnya peran puisi tak hanya dalam kehidupan pribadi, tapi juga dalam ruang publik. Celaka sebuah negeri jika ruang publiknya hanya dipenuhi oleh berita pertarungan kekuasaan, dan tabel perdagangan.
Kedua adalah kutipan dari Robert Frost. Ia penyair legenda, tiga puluh satu kali dinominasikan untuk Nobel Sastra, penerima empat kali Pulitzer Prize untuk sastra dan Congressional Gold Medal dari pemerintah Amerika Serikat karena karya sastra.
Apa itu puisi menurut Robert Frost? Menurutnya puisi itu adalah gairah yang dirumuskan menjadi pikiran, dan pikiran itu kemudian menemukan kata. Itulah puisi. Tak kurang dan tak lebih.
Ujar Denny, “Itulah sebabnya secara sengaja dalam gerakan puisi esai, saya mengajak sebanyak mungkin mereka yang selama ini tidak dikategorikan penyair menulis puisi. Mereka: aktivis, pengajar, wartawan, dan sebagainya, terpanggil menulis puisi dan menerbitkannya dalam buku.”
Jika dulu Chairil Anwar menyatakan: “Yang bukan penyair, tidak ambil bagian.” Gerakan puisi esai justru sebaliknya; “Yang bukan penyair (definisi penyair karir), boleh ambil bagian.
Puisi agar hidup jangan diasingkan hanya untuk para penyair karir saja. Semakin banyak puisi ditulis bukan oleh penyair karir, tapi oleh beragam warga, semakin yang “bukan penyair karir” ambil bagian, semakin baik. Itu pernyataan kedua.
Ketiga adalah kutipan dari Jalaluddin Rumi. Ujarnya, menyanyilah dirimu seperti burung yang berkicau. Tak usah hirau apa yang orang pikirkan. Ekspresikan saja sesuai dengan hatimu dan kesadaranmu. Dengan ini semua, Denny JA menyimpulkan sebagai berikut: Tentu dalam dunia yang beragam, kita mengapresiasi aneka genre, pilihan, bentuk ekspresi dari puisi. Itu bukan saja bagian dari hak asasi manusia, namun juga memperkaya taman bunga puisi.
Namun saya memilih sebuah ikhtiar yang ingin mengembalikan puisi ke ruang publik. Pilihan saya, puisi haruslah menjadi medium yang meromantisasi ruang publik agar dunia sosial tak hanya didominasi oleh kosa kata kekuasaan dan tabel angka ekonomi.
Itu tak lain artinya, saya memilih puisi yang mengekspresikan problem zamannya. Kegelisahan, masalah, isu strategis, mimpi, ketakutan masyarakat memerlukan medium puisi untuk ikut menyentuh pikiran dan hati publik luas.
Antara puisi dan isu yang hidup di masyarakat menjadi bersinerji. Isu yang hidup di masyarakat menjadi puisi. Denny JA mendambakan puisi dapat masuk ke tengah gelanggang kehidupan sosial politik masyarakat luas, bahkan ke tengah komunitas pengambil keputusan kebijakan publik agar dapat ikut menyentuh nurani mereka.
Dan ia bertanya, “Tapi terlalu besarkah beban itu diletakkan di pundak puisi?”
Tak diduga, dengan gerakan yang gigih mengerahkan segala daya, tujuh tahun kemudian pertanyaan itu terjawab. Berikut sedikit demi sedikit jawabannya, • Pada tanggal 10 Juni 2012 sedikitnya 50 lembaga swadaya masyarakat menjadi panitia Sepekan Tribute untuk Korban Kekerasan Agama di Indonesia yang digelar di Taman Ismail Marzuki,
Para LSM itu antara lain YLBHI, ICRP, Maarif Institute, Wahid Institute, Kontras, PGI, dan GP Ansor. Ribuan pengunjung yang hadir ikut larut dalam keprihatinan memburuknya toleransi agama di Indonesia.
Di acara puncak yang juga hadiri oleh Hj.Sinta Nuriyah itu, diputar sebuah film yang diangkat dari puisi esai Denny JA dengan sutradara Hanung Bramantyo.
• Pemutaran Video Puisi Esai Denny JA Menjadi Puncak Acara Lomba Sastra Antar SLTP dan SLTA se-Provinsi Banten”.
• Panglima TNI membacakan kutipan puisi “Bukan Kami Punya” Denny JA di aneka gelanggang politik utama, antara lain Rapimnas Partai Golkar 2017.
Kisah pembacaan puisi panglima tertinggi militer ini pun segera menjadi viral dan mengisi berita utama tv, dan materi talk show yang diulang-ulang.
Setidaknya, puisi ada gelagat kembali masuk ke ruang publik, ke tengah gelanggang, dan meromantisasi diskusi masyarakat luas. Semakin banyak puisi dikutip dalam gelanggang utama kehidupan, di panggung politik, bisnis, ilmu pengetahuan, mesjid, gereja, semakin baik. Sudah barang tentu semua ini dicapai bukan dengan mulus bagai melenggang di karpet merah. Gagasan dan klaimnya mengenai puisi esai sebagai genre baru menimbulkan kontroversi di mana-mana.
Kritik bahkan hujatan dari beberapa penulis tak putus-putus meramaikan media sosial. Kontroversi, serangan, dan hujatan makin menggila setelah nama Denny JA termuat dalam buku 33 Tokoh Sastra paling Berpengaruh di Indonesia (2014).
Denny JA sendiri tampil secara aktif di media sosial menjawab semua kritikan tersebut. Ini semua termuat dalam bab “Merespon Kontroversi Puisi Esai” yang berisi argumen Denny JA mengenai puisi dan fenomena sosial masa kini, khususnya era internet yang kini disebut-sebut sebagai era revolusi 4.0 dan tengah menuju 5.0.
Respon tersebut ditulisnya dalam sejumlah tulisan sebagai berikut: • “Loving Van Gogh dan Potret Penyair yang Menguning” (hal. 22),• “Ada Pelangi di Setiap Dunia, Termasuk pada Puisi” (hal. 30),• “Kisah Puisi Esai dan Para Pendahulu” (hal. 42),
• “Antara Puisi Esai dan Novel yang Dipuisikan Karya Alexander Pushkin (hal. 58),• “Sore Itu, Catatan Kaki Mengeluh Padaku” (hal. 63),
• “Masuknya Peristiwa Sosial ke Dalam Puisi” (hal. 69),• “Survei LSI, Nov 2017: Pembaca Sastra di Indonesia Hanya 6 Persen” (hal. 74),• “Petisi Sastra 0,001 Persen” (hal. 81). Respon tersebut diiringi juga dengan sejumlah pemikiran peran sastra bagi masyarakat dan perubahan sosial, yakni: • “Masuknya Peristiwa Sosial ke Dalam Puisi” (hal. 88),• “Kritik Sosial Melalui Puisi” (hal. 99),• “Atas Nama Cinta, Isu Diskriminasi dalam Puisi Esai” (hal. 108). Kini kontroversi itu makin sayup-sayup. Ahmad Gaus sejak awal sekali mengemukakan bahwa diterbitkannya buku puisi esai Atas Nama Cinta pada hakekatnya mengusung dua misi.
Yaitu, misi menyadarkan publik tentang praktik-praktik diskriminatif yang masih terjadi dalam masyarakat. Misi lain: memperkenalkan genre baru dalam dunia sastra Indonesia, yaitu puisi esai.
Diperkenalkannya puisi esai sebagai genre baru memancing kontroversi besar di Indonesia. Namun kian lama kehadirannya tak terbantahkan.
Berbeda dengan di Indonesia, penerimaan ide puisi esai di negeri serantau terbukti cukup positif. Penerimaan positif dengan mudah muncul dari kalangan yang memiliki jarak yang cukup dengan dunia sastra di Indonesia atau penulis Indonesia yang sehari-harinya lebih banyak berurusan dengan masyarakat luas sebagai pejabat publik.
Misalnya, Jasni Matlani, sastrawan Malaysia penerima SEA Write Award 2015, mengemukakan, “Malah, di tangan Denny JA, penyair yang dikatakan menjadi pengasas Indonesia Tanpa Diskriminasi ini, puisi menjadi semacam satu bentuk pengucapan yang dibumbui sinisme, sindiran dan provokasi berkait agama dan sosial di sekeliling.”
“Malah, bentuk pengucapannya, walaupun mudah dan komunikatif, tetapi sudah jauh berubah daripada bentuk syair Syeikh Hamzah Al-Fansuri, yang dahulunya dekat kepada bentuk puisi tradisi yang terikat kepada rentak, muzik, skema, rima, dan aturan suku katanya tersendiri.”
Di tangan Denny JA puisi mengalir bebas seadanya, dengan bahasa yang lumrah, digunakan sehari-hari dan sampai pada khalayak pada waktu yang cepat, malah tidak menjadikan kesusasteraan sebagai dunia eksklusif bagi pengarang sahaja, dengan bahasa sukar difahami.
Sebaliknya puisi yang dihasilkan Denny JA, jelas maknanya, menumbuhkan kesedaran sosial, mempunyai visi, falsafah, keunggulan, hasanah, dan sesuai dengan tuntutan zamannya.
Denny JA cuba mencerna keunggulan sastera bangsa Indonesia, dengan pesan dan sindiran atau sinisme sosial yang tajam, malah menuntut renungan yang dalam terhadap agama, yang sepatutnya menyatukan ummah, mengikat tali ukhuwah dan bukan memecah- belahkan, atau melebarkan raung diskriminasi, tetapi membangun secara bersama, saksama dan bertoleransi. Robert John dalam tulisannya “Suara Indonesia 22 Buku oleh Denny JA“ di The Huffington Post mengemukakan pendapatnya mengenai buku puisi esai Denny JA Roti untuk Hati. Berikut sedikit petikannya, Bagi mereka yang tidak menyukai filosofi “Seni demi Seni” dan pendukung “The Art for Politics,” 22 buku puisi Denny JA ini segera menghilangkan rasa lapar itu.
Ada benang merah yang menjadi platform 22 buku puisi Denny JA. Buku puisi ini umumnya tentang isu agama dan diskriminasi dalam perspektif liberal.
Dalam satu buku, misalnya, Denny JA menampilkan data bagaimana dunia barat lebih Islami daripada berbagai Islam.
Dalam buku lain, dia menunjukkan kesatuan transendental dari semua agama.Bukan hanya ortodoksi agama Islam yang dikritiknya. Tapi dia juga mempertanyakan ortodoksi agama Katolik dan cara hidup lainnya.
Di setiap buku, saya merasakan bahwa perspektif dan nilai yang dia pegang adalah prinsip hak asasi manusia universal. Apa hal besar dari 22 buku puisi karya Denny JA? Denny JA membuat puisi menjadi esai, atau esai menjadi puisi. Ini adalah cara menulis puisi yang tidak biasa yang ia coba untuk mempopulerkan: esai puitis (Puisi Esai).
Inilah esai rasa puisi, atau puisi rasa esai.Kita akan menikmati puisi Denny JA saat kita menikmati membaca esai. Bahkan ada banyak catatan kaki dalam puisinya.
Saya merasakan adanya penelitian ekstensif sebagai dasar penulisan puisi. Demikian pula saya merasa seperti membaca cerita pendek: ada plot dalam puisi itu. Bahkan ada statistik dalam puisi itu.
Berbagai puisi Denny JA sangat kuat secara filosofis dan penuh dengan gagasan sosial. Haruskah agama masuk dalam kurikulum sekolah? Mungkinkah seseorang menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi homoseksual? Haruskah para biarawati ingin melayani Tuhan yang belum menikah?
Berbagai ide sosial di atas sering menjadi subyek makalah akademis. Tapi sekarang mereka benar-benar ditemui dalam puisi.
Bagi yang suka seni untuk seni tentunya sangat tidak akan menyukai terobosan dari Denny JA. Anda mungkin menuduhnya sebagai “mengendarai” puisi untuk gerakan sosial, misalnya.
Tapi bagi mereka yang selalu terbuka terhadap wawasan baru untuk sastra, 22 buku puisi karya Denny JA ini merupakan terobosan, satu gaya penulisan yang sarat dengan ide bagus. -000-
Tulis penyair Abdul Kadir Ibrahim (AKIB): “Di tangan Denny JA, puisi bukan lagi sekadar keindahan dan nilai ataupun pesan, juga rasa. Puisi sekaligus menimbulkan pemikiran, pengetahuan, dan pengalaman.
Kata- kata, larik-larik puisi, menjadi ada makna baru dan kuat, karena disokong dan ditunjang oleh keberadaan data atau fakta. Pembaca puisi semacam ini dapat menikmati keindahan dan sekaligus pengetahuan. Semua gerakan puisi esai yang berjalinberkelindan dengan gerakan anti diskriminasi itu tidak hanya merebak di Indonesia, melainkan telah merambah ke negeri-negeri Jiran.
Dan pada Asean 11 Febuari 2020, pengakuan itupun tiba. Presiden Badan Bahasa dan Sastra Sabah, Datuk Jasni Matlani, melalui surat resmi yang ditujukan kepada Denny JA mengabarkan.
Bahwa Badan Bahasa dan Sastra Sabah bersepakat memberikan penghargaan kepada Denny JA berupa hadiah “Sastra Kemanusian dan Diplomasi ASEAN.”
Melalui karyanya tersebut, Denny JA dianggap berjasa membuat terobosan, melahirkan dan mempopulerkan puisi esai hingga ke tingkat negara ASEAN.
Melalui inovasi itu, puisi melampaui fungsi tradisionalnya. Bahkan kisah hubungan dua negara di ASEAN atau dinamika batin masyarakat di negara ASEAN bisa dikisahkan melalui puisi esai. ***
(Naskah ini prolog dari Buku Agus R Sarjono: YANG BUKAN PENYAIR BOLEH AMBIL BAGIAN: GERAKAN PUISI ESAI DENNY JA)