BILA bangsa sedang sakit, puisi obatnya. Itu kata Pinto Janir, penyair Indonesia asal Sumatera Barat dalam sebuah kesempatan, beberapa waktu lalu.
Menurut Pinto, penyakit terundang dari jiwa dan pikiran. Jiwa menjadi sakit karena lenyapnya “rasa” yang mengakibatkan tumpulnya daya rasa itu sendiri dan matinya daya pikir hati sehingga nurani terkubur.
“Bagi saya, puisi adalah perasaan yang berdawai halus. Betapapun kerasnya petikan kalau dawainya kuat, nadanya tidak akan pernah fals. Konyolnya, saat senar gitar tak lengkap, petikan dipaksakan juga, pada akhirnya yang lahir adalah nada-nada sumbang dan sakit! Bila bangsa sedang sakit, puisi obatnya”, papar penyair yang berlatar hidup sebagai seorang jurnalis, juga penyanyi serta pencipta lagu Pop Minang ini.
Menurut Wikipedia, Pinto Janir adalah seorang seniman multitalenta Indonesia asal Padang, Sumatera Barat. Selain sebagai penyair ia juga dikenal sebagai wartawan, penulis cerita pendek (cerpen) dan cerita bersambung (cerbung), serta penulis lagu dan sekaligus sebagai penyanyi.
Wikipedia menyatakan Pinto dianggap sebagai penyair yang gila, karena pembacaan puisinya yang menyentak, liar dan garang. Ia juga dianggap sebagai pelopor dalam mengawinkan unsur puisi, musik dan teater dalam setiap penampilannya di atas panggung.
Provinsi Sumatera Barat yang dahulunya dikenal sebagai Minangkabau adalah nagari tempat lahirnya Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Minangkabau adalah nagari yang banyak melahirkan penyair terkemuka dan sastrawan untuk Indonesia. Membangun dunia sastra, adalah juga membangun peradaban dengan tinta rasa atau perasaan.
Penyair dan sastrawan adalah orang hebat yang senantiasa berkontribusi bagi penguatan kebudayaan, meskipun tak dipungkiri para sastrawan kerap berseberangan bahkan menjadi lawan bagi penguasa atau pemerintah.
Sejatinya, seperti halnya praktisi kerja kontrol sosial sebangsa jurnalis atau lembaga swadaya masyarakat, penyair dan sastrawan adalah mitra seiring pemerintah untuk membesarkan bangsa.
Bangsa yang hebat dan bangsa yang bijaksana adalah bangsa yang dapat saling bertukar pikiran dengan penyairnya dan para sastrawan serta budayawannya
Sosok Pinto Janir dalam kiprahnya sebagai seniman dan penyair, tak bisa dipungkiri telah memberi warna tersendiri terhadap dunia kepenyairan nasional. Melihat, membaca serta mendengar Pinto baca puisi, mengingatkan kita kepada seorang Chairil Anwar, penyair legendaris Indonesia asal Minangkabau.
Berikut salah satu puisi satir karya Pinto Janir, berjudul: Keparat Berlagak Malaikat.
“Keparat berlagak malaikat
rakyat dibujuk-bujuk lalu disikat
bicara lantang angkat martabat
uang rakyat kok dikerat-kerat
Rakyat melarat masih didamprat
diinjak-injak lalu dibabat
Ini rakyat bung,bukan ketupat!
Konglomerat tambah hebat
rakyat tambah tersayat
konglomerat makin makmur
rakyat mandi lumpur
Harapan biarkan subur
mimpi biarkan gembur
siapa berharap siapa terkubur
pemilik mimpi cukur mencukur
Perut koruptor gembur karena makan pizza atau roti,
perut rakyat gembur juga karena kura gizi
Kemana hati nurani?
hati nurani lagi jalan-jalan
sama tuan-tuan dan nyonya-nyonya
beli sini beli sana
ngembatnya di sini
ngabisinnya di sana
Politik memang taktik,
main cantik biar rakyat tak berkutik
siapa berkutik dikilik-kilik lalu diculik
Tebarkan darah tanpa titik
dipetik sebelum berputik
bencana sahabat tiap detik.
Ah, titik!
Keadilan di ujung bedil,
kedamaian tergaing-gaing di tepi-tepi mimpi
ibarat daging tergayut berayun-ayun di mata belati
Bagaimana hendak cari nasi sepiring
bila tiap hari kepala pusing,
hendak dagang kaki 5 diburu seperti maling
minjam duit untuk modal di bank syaratnya saja tujuh keliling
Siapa yang tak hendak pening?
Kalau sudah begini, haruskah diam atau hening?
Kutonton TV di rumah, beritanya tak ada yang ramah
Kalau tak bencana di mana-mana ya berita berdarah-darah,
atau koruptor yang sibuk menjarah berpeti-peti uang berwarna sirah…
sirah..merah…darah!
Hukum bukan hiasan, ditenok-tenok dimainkan
hukum bukan lukisan, dikuas-kuas lalu dilibas
Ketok palu bukan ketok pintu
ketok palu jangan ragu-ragu malu-malu,
emangnya sampeyan mau cari menantu?
Gembel tukang curi ayam dipanggang digantung rame-rame
gembel berdasi kok disanjung-sanjung?
Perang-perang lo liak
kalau tak perang berlaki bini,
ya perang saudara di sana sini,
satu kampung soal sepele saja bisa saling angkat pedang
tapi ketika merah putih diganggu orang
mengapa tak meradang, mengapa diam dihadang
Satu kali beranilah mati, demi Indonesia yang kucintai ini,
harga diri diinjak-injak, eee masih gelak terbahak-bahak
senyum sana-senyum sini
lambai sana-lambai sini
beri sana embat sini
(kayak pencitraan aja!)
kok malah dibalas pake puisi,
teguhkan hati,
isi amunisi…arahkan senjata ke lawan,
jangan ke saudara sendiri…
Mati gaya kau nanti!
Kemana lagi hendak berdiri, di mana tegak di sana duri
Tinggal di pantai diancam tsunami
tinggal di gunung diancam longsor,
Tinggal di punggung gunung takut merapi meletus kembali
hendak melaut gelombang tinggi,
pendayung lapuk biduk tiris pula
hendak berladang pupuk tak terbeli
hendak ngojek angsuran motor tinggi sekali
hendak berdagang nanti diburu-buru lagi
hendak bercinta, saku tak berisi,
hendak lari…dunia tak bertepi,
hendak tidur, mimpi kacau sekali lagi,
hendak jalan-jalan diajak demonstrasi,
disuruh teriak-teriak ngujat sana sini,
nanti dijanjiin sebungkus nasi,
soal kopi di rumah saja bikin sendiri,
soal rokok, isap-isap saja jari jemari…
hendak bernyanyi suara sumbang sekali,
baru bernada doremi fa sol la si do..
orang-orang pada kabur..
haruskah nasib kutangis-tangisi sendiri sampai mati terkubur?
Ayoooo……
beri hormat merah putih gagah menari-nari…
kini aku kau kita rakyat harus bangkit kembali
walau di atas tikar beribu duri-duri
Tak peduli pada keparat berlagak malaikat
tak peduli pada konglomerat hebat ngembat
tak peduli pada politisi peniup harapan pengawal mimpi-mimpi
tak peduli pada siaran televisi pembawa kabar petakut di hati
tak peduli pada ancaman gempa atau tsunami
tak peduli pada gunung meletus atau mau longsor lagi
tak peduli pada penguasa melati bertangan besi
buat apa peduli
apakah bubur pernah peduli jadi nasi?
bila begitu
mari kita hidup
biarpun merdeka di atas dunia yang belum merdeka
yang penting hidup sajalah itu…. jadilah dulu!
Aku lelaki tegak berdiri
segala tegak semua berdiri
kalau tak percaya coba saja sendiri
sekali kumesrai
rasai….
beranak pinak kau nanti
usah sesalkan bila kupergi!
(ede)