JAKARTA, beritalima.com | Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan bahwa PT Astra Honda Motor (AHM) tidak terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atas penjualan pelumas sepeda motor. Putusan Perkara Nomor 31/KPPU/I/2019 ini dibacakan secara langsung dan daring dalam Sidang Majelis di Kantor Pusat KPPU di Jakarta, Kamis (25/2/2021).
Perkara ini berawal dari penelitian inisiatif dan ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan mengenai dugaan perjanjian pembelian bersyarat dan perjanjian potongan harga dalam penjualan pelumas sepeda motor, khususnya pelumas dengan spesifikasi teknis SAE 10W-30, JASO MB, API SG atau lebih tinggi, yang dilakukan oleh PT Astra Honda Motor di Pulau Jawa.
Perkara ini merupakan pengembangan kasus kartel skuter matik di tahun 2016. Dalam proses penyelidikan, KPPU menemukan adanya dugaan pelanggaran perjanjian ekslusif yang dilakukan AHM.
Perjanjian ekslusif itu melibatkan main dealer dan/atau bengkel Astra Honda Authorized Service Station (AHASS) dengan AHM yang memuat persyaratan bahwa siapa pun yang ingin memiliki bengkel AHASS harus menerima peralatan minimal awal (strategic tools) dari AHM, dan wajib membeli suku cadang lain di antaranya pelumas dari AHM.
Selain itu, juga terdapat perjanjian eksklusif yang berkaitan dengan potongan harga suku cadang (termasuk pelumas) yang
diperoleh pemilik bengkel AHASS, jika mereka hanya menjual suku cadang asli dari AHM dan/atau tidak menjual pelumas merek lain.
Pada proses persidangan, Majelis Komisi menemukan fakta-fakta, melakukan penilaian, dan menyimpulkan bahwa unsur potongan harga bersyarat (bundling) dalam perkara tersebut tidak terpenuhi, sementara unsur perjanjian pembelian bersyarat (tying) secara per se dapat terpenuhi dan AHM terbukti melanggar Pasal 15 ayat 2.
Namun, Majelis Komisi berpendapat bahwa berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup), Pasal 15 ayat 2 dapat diperiksa berdasarkan rule of reason, karena perjanjian tying dapat berdampak negatif dan dapat pula berdampak positif bagi persaingan usaha dan masyarakat.
Majelis menilai bahwa tujuan dari perjanjian antara AHM dan main dealer, serta perjanjian main dealer dan dealer adalah untuk menjaga kualitas, reputasi, dan pelayanan purna jual terhadap konsumennya.
Memperhatikan manfaat positif perjanjian tersebut, dan sejalan dengan salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang adalah untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, Majelis Komisi menilai perbuatan AHM tersebut dapat dibenarkan.
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Komisi menyimpulkan bahwa AHM tidak terbukti melanggar Pasal 15 ayat 2 (terkait perjanjian pembelian bersyarat atau tying agreement) dan Pasal 15 ayat 3 (terkait perjanjian potongan harga bersyarat atau bundling agreement) dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. (Ganefo)