Oleh: Wibisono
Selama ribuan tahun agama telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan manusia. Secara normatif, agama selalu dilihat sebagai salah satu sumber norma yang mengajarkan kebaikan dan perdamaian. Namun, didalam spektrum empiris justru berbanding terbalik, berbagai konflik, kekerasan, kerusuhan, dan terorisme, hingga perang yang banyak disebabkan oleh agama.
Tulisan ini memberikan gambaran berupa perspektif kritis-ilmiah dalam berbagai fenomena dan aksi radikalisme akhir akhir ini di Indonesia. Fenomena radikalisme tidak dapat hanya dilihat dari perspektif sosial-budaya saja, tetapi juga agama.
Ada tiga faktor yang mendorong munculnya gerakan radikalisme di Indonesia.
Pertama, perkembangan dari tingkat global. Hal ini dapat dilihat dari potret situasi yang kacau di negara-negara Timur Tengah, khususnya didaerah Afganistan, Palestina, Iran, Syiria, dan Turki, dipandang oleh sebagian kelompok radikal salah satu akibat dari campur tangan atau pengaruh Amerika, Israel, dan sekutunya. Pada saat yang sama, paham Wahabisme mulai masuk dengan bercorakkan ajaran agama islam yang konservatif ke Indonesia.
“Kehadiran Wahabisme ini ikut mendorong munculnya kelompok eksklusif yang sering menuduh orang lain yang berada di luar kelompok mereka sebagai ‘musuh, kafir, dan boleh diperangi.”
Kedua, tersebarnya paham Wahabisme yang berasal dari Arab Saudi. Paham Wahabisme ini tidak semerta merta sebagai suatu aliran, pemikiran atau ideologi, melainkan sebuah mentalitas, yang begitu antusias membuat batas kelompok antara kelompok Muslim, dan mengklaim kelompok lain kafir, serta musuh yang harus diperangi.
Ketiga, karena faktor kemiskinan, meskipun hal ini tidak berpengaruh langsung terhadap merebaknya aksi radikalisme. Namun, kemiskinan mudah memengaruhi seseorang dalam mensupply kebutuhan, yang melahirkan pendekatan ekonomi dalam penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme keagamaan. Noorhaidi Hasan, dalam penelitiannya dengan tema Laskar Jihad, menyebutkan bahwa beberapa wacana akademik lama telah
membedakan antara Wahabisme dan Salafisme. Salafisme identik dengan pemikir reformis modern yang digagas oleh Jamaluddin al-
Afghani (1838-1935), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935). Para pemikir ini memberikan seruan kepada umat Islam untuk membuka pintu jihad, berupa penyatuan antara islam dan ilmu penyetahuan, yang pada akhirnya memberikan subtansi bagi kelompok modernis dan Islam. Mereka memiliki tujuan agar Islam terlibat dalam politik dan memisahkan diri dari Wahabisme. Noorhadi Hasan menyebut hal ini sebagai suatu gerakan dari ‘Salafi kontemporer’.
Senada dengan data di atas, yang bermula dari pemetaan definitif Wahabisme dan Salafisme.
Para pengikut gerakan Salafi ini adalah kaum muda, pelajar, mahasiswa, dan perempuan.
Gerakan Islam di Indonesia tidak hanya sebatas pada gerakan Negara Islam Indonesia (NII) dan Jamaah Islamiyah (JI), namun juga
gerakan Islam lainnya seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Jamaah Tabligh, Salafi, Front Pembela Islam (FPI), dan lainnya.
Gerakan Islam ini
memberikan pengaruh yang signifikan mengenai Islam dan gerakannya di Indonesia. Namun, beberapa dari kelompok ini memiliki jaringan tertutup dan dalam penerapan ideologi oleh
beberapa kelompok atau gerakan ini dianggap memiliki ideologi yang
keras oleh masyarakat secara umum, sehingga hal ini menimbulkan beragam gesekan dalam kehidupan sosial seperti, aksi radikal, penyebaran kebencian dan ancaman, bom bunuh diri hingga teror. Gerakan ini familiar di telinga masyarakat Indonesia sebagai gerakan Islam transnasional. Gerakan Islam transnasional ini merupakan gerakan yang aktivitasnya melampaui batas batas ideologi negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi.
Penelitian terbaru mengenai penyebaran konsep radikalisme ini
yang berujung pada konflik ekstrimis dilakukan oleh Mupida dan Mustolehuddin. Mereka menyoroti bagaimana peran new media
terhadap perempuan yang aktif berselancar di dunia maya- medsos, khususnya dalam ideologi keagamaan yang mengarah pada konflik ekstrimis. penelitiannya, menjelaskan bahwa media baru atau internet memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
perubahan ideologi dari sekelompok perempuan di Indonesia yang memiliki haluan ekstrimis.
Berdasarkan laporan dari Internasional Crisis Group (ICG), 13 September 2004 dalam tajuk ‘Indonesia Backgrounder: “Why Salafism And Terrorism Mostly Don’t Mix?”, tulisan ini menjelaskan tentang keberagaman dan seluk beluk Salafisme di Indonesia, khususnya pada rentang waktu 20 tahun terakhir. Salafisme di Indonesia pada umumnya bukanlah ancaman terhadap keamanan. Karena Salafisme di Indonesia lebih terpusat pada penguatan keimanan dan aktivitas dakwah, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Belakangan, gerakan Salafi ini mengalami pergeseran ideologi dalam merespon situasi politik regional dan internasional, khususnya terkait dengan kebijakan negara yang telah menghasilkan beragam implikasi teologis fragmentasi doktrin Salafi. Pergeseran ini berupa pergeseran sebagian pengikut Salafi untuk terlibat dalam semangat islamisme dan jihadisme.
Bagaimana dengan anak milineal agar tidak terpapar faham radikalisme?, Penulis menyarankan agar milenial tidak berubah menjadi teroris “lone wolf”, mereka harus diberi kesibukan,kegiatan, dan aktivitas terbuka. Dengan demikian, sesuatu yang membelenggu pikirannya akan lebih terurai daripada hanya diam.
Aksi intoleran maupun radikal akan masuk dan tumbuh subur di tengah masyarakat yang tidak kritis. Sebab, mereka akan menelan mentah informasi tanpa melakukan pengecekan kembali, Karenanya kita selalu dorong supaya bacaan dari kaum milenial selalu dikontrol orang tua terdekat, karena orang tua yang paling paham, agar kaum milineal tidak terpapar faham Radikalisme.
Penulis : Pengamat Militer dan Pertahanan