JAKARTA, beritalima.com | Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Peran TNI Mengatasi Terorisme menuai berbagai kritikan. Mereka menolak R-Perpres yang dianggap sangat tidak tepat itu.
Kritikan terhadap R-Perpres tersebut diantaranya disampaikan Rafendi Djamin, Komisioner/ Wakil Pemerintah Indonesia di Komisi HAM antar pemerintah ASEAN (AICHR) Tahun 2009-2015.
Rafendi mengatakan, posisi Ketua RI di Dewan Keamanan (DK) PBB bulan Agustus 2020 ini memprioritaskan upaya perdamaian dunia termasuk penanggulangan terorisme di dunia.
Peran penting itu seharusnya tidak dilumpuhkan atau dilemahkan oleh upaya sebagian politisi, pemerintah dan TNI dengan memaksakan dikeluarkannya Perpres yang memberikan wewenang pada TNI secara berlebihan.
“Bila Perpres ini dikeluarkan oleh Pemerintah RI sebagai Ketua DK-PBB, jelas akan memberikan contoh buruk bagi pemerintah lain di dunia, jauh dari keteladanan dan pada akhirnya menggagalkan misi diplomasi RI untuk perdamaian dunia,” lanjut Rafendi, Selasa (11/8/2020).
Hukum HAM dan Humaniter Internasional sudah jelas mengatur bahwa ancaman tindakan terorisme di tingkat nasional (walaupun menjadi bagian dari jaringan internasional) tunduk pada “Criminal Justice System” atau Law Enforcement Rules (situasi damai), bukan hukum perang atau situasi perang (war rules).
TNI bisa dilibatkan dalam penanggulangan terorisme, yang tunduk pada system penegakan hukum (Criminal Justice System) hanya pada saat “imminent threat”/ancaman yang nyata tidak dapat diselesaikan melalui system penegakan hukum biasa.
Aturan hukum HAM Internasional mensyaratkan 3 tahap yang harus diterapkan sebelum pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Pertama, Pemerintah wajib membuktikan bahwa kelompok teroris yang terorganisir tertentu telah dan akan melakukan serangan-serangan menggunakan kekerasan berulang yang mengancam Negara dan masyarakat dengan intensitas yang tinggi yang mengarah pada perjuangan politik bersenjata.
Kedua, kelompok terorganisir itu menjadi bagian tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok politik bersenjata. Bahwa instrumen “penegakan hukum”/law enforcement tidak tersedia atau tidak dapat dilakukan.
Pelibatan TNI dalam Criminal Justice System untuk melawan terorisme dapat dilakukan dalam jangka Panjang berkala adalah pelibatan pada kerja sama intelejen: dalam membuat assessment profile ancaman tindakan terorisme dari terduga teroris atau kelompok teroris.
Pelibatan intelejen tersebut dilakukan pada tahap pencegahan maupun penindakan dalam ranah Criminal Justice System. Pelibatan dalam penindakan hanya dilakukan ketika opsi penegakan hukum tidak tersedia lagi.
Maka dari itu, tegas Rafendi, R-Perpres tentang tugas TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme yang memuat pasal-pasal yang memberikan wewenang pada TNI untuk pencegahan dan penindakan di luar kerangka “Criminal Justice System “ harus ditolak.
Alasannya, tandas dia, karena bertentangan dengan norma-norma hukum HAM dan Humaniter Internasional serta TAP MPR No. 6 dan 7/ 2000 tentang pemisahan tugas TNI dan POLRI, UU POLRI No. 2/2002, UU Pertahanan No. 3/2003, UU TNI No. 34/2004 dan UU No. 5/2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (Ganefo)