Raja Jawa dalam prespektif demokrasi, kekuasaan yang absolut

  • Whatsapp
Pembina LPKAN Wibisono

Oleh : Wibisono

Istilah “Raja Jawa” saat ini tengah menjadi perbincangan dan perhatian publik di masyarakat Indonesia, bahkan sampai dibahas di beberapa media asing.

Ungkapan tersebut muncul ketika Bahlil Lahadalia menyinggungnya dalam pidato perdana usai dirinya terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Airlangga Hartarto yang beberapa waktu lalu mundur dari jabatannya.

Bahlil meminta para kader tidak bermain-main dengan “Raja Jawa” jika tidak ingin celaka. Saat ditanya soal istilah “Raja Jawa”, Bahlil Lahadalia malah mengatakan itu hanya candaan. Dia enggan membeberkan siapa Raja Jawa yang dimaksud.

Sontak istilah “Raja Jawa” ini memunculkan pertanyaan, serta banyak spekulasi dan asumsi yang muncul di publik.

Dalam prespektif demokrasi “raja Jawa” dianggap kekuasaan yang absolut, karena kekuasaan raja di masa kerajaan di Jawa merupakan trah yang harus berkuasa turun temurun, seperti yang ada di Surakarta dan Jogyakarta.

“Raja Jawa” yang di gambarkan Bahlil adalah seorang raja yang kejam dan bengis dalam menundukkan lawan lawan politiknya seperti yang dilakukan oleh Jokowi dalam menyandera partai Golkar yang menimpa ketum Golkar Airlangga Hartarto.

Salah satu media asing asal Inggris, The Economist, menyoroti keadaan darurat demokrasi di Indonesia yang disebut-sebut disebabkan oleh “Raja Jawa”.
Dalam artikel bertajuk “The King of Java inflames an Indonesian ‘democratic emergency'”, The Economist menuliskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuat marah masyarakat Republik Indonesia (RI) karena berusaha memeluk kuat-kuat kekuasaannya.

The Economist menyebut serangkaian peristiwa yang terjadi belakangan ini di Indonesia merupakan “jenis tindakan yang akan dikagumi oleh Soeharto”.

“Itu merupakan jenis tindakan yang akan dikagumi Suharto, seorang pemimpin yang berkuasa di Indonesia dengan tangan besi dari tahun 1967 hingga 1998. Joko Widodo, presiden Indonesia, melakukan pengambilalihan secara paksa partai sang diktator terdahulu, Golkar, pada 21 Agustus ketika para anggotanya memilih Bahlil Lahadalia, orang dekat presiden dan menteri energi Indonesia, sebagai ketuanya,” tulis The Economist.

Media Inggris itu mengutip pernyataan Bahlil dalam pidatonya di Munas Golkar pada 21 Agustus lalu yang memperingatkan untuk tidak bermain-main dengan Raja Jawa.

Dengan peristiwa diatas, kita prihatin dialam reformasi, demokrasi yang begitu bebas ini masih ada orang yang mengkultuskan presiden Jokowi sebagai pemimpin yang punya kuasa penuh atas kekuasaan yang absolut, semoga kedepannya demokrasi kita semakin baik dan bermartabat.

Penulis: Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait