JAKARTA, Beritalima.com– Senator Dapil Provinsi Sulawesi Tenggara, Amirul Tamim menyayangkan kondisi Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) di luar Pulau Jawa yang mengalami banyak kendala, mulai dari mahalnya bahan pendukung produk seperti kemasan (packaging) yang sebagian besar harus didatangkan dari Pulau Jawa.
Selain itu juga biaya pengiriman dari luar ke Pulau Jawa masih mahal sehingga produk UMKM di luar Pulau Jawa sulit bersaing. “Ini diperlukan koordinasi lintas sektor dan ada kebijakan-kebijakan intervensi dari Pemerintah misalnya subsidi transportasi angkutan untuk menghemat biaya sehingga produk UMKM di luar Jawa bisa masuk Jawa,” kata dia.
Hal tersebut diungkapkan Amirul dalam Rapat Kerja (Raker) Komite IV DPR RI dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKN) membahas pelaksanaan UU No: 20/2008 tentang UMKM di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, pekan ini.
Raker dihadiri Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki beserta jajarannya dan dipimpin Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Novita Anakotta, senator dari Dapil Provinsi Maluku. Raker untuk mendapatkan informasi dari Kementerian Koperasi dan UKM tentang kinerja pengembangan Koperasi dan UKM serta menindaklanjuti temuan-temuan anggota DPD RI di lapangan terkait dengan UMKM selama masa reses.
Novita mengatakan, masih terdapat beberapa permasalahan terkait pemberdayaan UMKM seperti kualitas dan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) masih tergolong rendah dan minim pengetahuan terhadap kewirausaahan sehingga berdampak pada produktivitas UMKM.
Dari legalitas dan perizinan, banyak UMKM belum memahami regulasi dan peraturan yang mengaturnya. Permasalahan lain, masih banyak UMKM yang kesulitan permodalan dan pendanaan khususnya UMKM yang baru merintis usaha.
Ketua Komite IV DPD RI Sukiryanto mengungkapkan beberapa masalah di lapangan, misalnya terkait pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) UMKM yang memiliki peredaran bruto Rp4,8 miliar per tahun. Karena itu, dia berharap Pengusaha Kena Pajak (PKP) bruto dapat dinaikkan menjadi Rp 7 miliar – Rp 10 miliar per tahun agar UMKM tidak digolongkan sebagai pengusaha besar.
Terkait Bantuan Presiden untuk UMKM Rp 2,4 juta, ada temuan belum meratanya bantuan untuk UMKM di daerah. “Masih banyak pendaftar yang telah terdata di gelombang I tapi belum menerima bantuan itu. Namun, ada yang mendaftar pada gelombang berikutnya malah sudah menerima bantuannya.
Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Casytha A Kathmandu mengungkapkan temuan terkait UMKM, yaitu adanya kelompok UMKM di Kabupaten di Jawa Tengah yang berhasil membuat kelompok untuk berjualan online di salah satu platform.
“Ini hal yang bagus untuk meningkatkan daya saing UMKM lokal. Dan Kementerian Koperasi dan UKM perlu membina dan memfasilitasi kreativitas mereka,” kata dia.
Selain itu, Senator dari Dapil Provinsi Jawa Tengah itu juga menyoroti pentingnya inkubasi bisnis berbasis kampus untuk menggerakkan kewirausahaan, dengan melibatkan kerjasama lintas sektor.
Haripinto menyoroti kebijakan Kementerian Keuangan yaitu Peraturan Menteri Keuangan No: 199/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Impor Barang Kiriman, di mana semua kiriman yang keluar dari Batam dikenakan pajak bea masuk, PPh, dan PPn (17,5-40 persen).
“Produk UMKM di Kepri yang masuk kawasan khusus Batam dikenakan PMK ini, sehingga mereka sulit berdaya saing karena harga produk menjadi tinggi,” kata Haripinto.
Teten Masduki menyatakan, Kementerian KUKM telah mencanangkan tiga pilar strategi pengembangan UMKM yang tertuang dalam Rencana Kerja 2020 meliputi 3 pilar, 6 strategi, 18 rencana aksi, dan 75 kegiatan. Tiga pilar yang dimaksud yaitu, meningkatkan kapasitas dan kompetensi UKM, membangun lembaga keuangan yang aman bagi UKM dan koordinasi lintas sektor.
Juga diinformasikan, jumlah UMKM di Indonesia saat ini mencapai 64 juta, di mana 98 persen dikategorikan sebagai usaha sampingan karena tidak ada pekerjaan lain. “Untuk kategori ini, mereka tak membutuhkan pendampingan khusus, melainkan memerlukan bantuan modal kerja.”
Sebagian kecil UMKM itu memang perlu ditumbuhkembangkan usaha mereka sehingga bisa naik kelas atau menjadi enterpreneur. “Untuk kategori ini diperlukan pendekatan inkubasi, pendampingan, perlu dibangun ekosistemnya, agar mereka bisa mengakses pembiayaan, teknologi, pasar, dan sebagainya,” tambah Teten. (akhir)