JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior di Komisi XI DPR RI yang membidangi Keuangan, Perbankan dan Pembangunan, Dr Hj Anis Byarwati mempertanyakan kebijakan Bank Indonesia melalui Quantitative Easing (QE) atau meningkatkan jumlah uang beredar dengan penambahan likuiditas perbankan Rp 614,8 triliun.
Anis yang juga ekonom Ekonomi Syariah tersebut dalam keterangan pers yang Beritalima.com, Kamis ( 9/7) pagi mengatakan, hal itu juga sudah dia pertanyakan dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Keuangan dan Gubernur BI dalam rangka menindaklanjuti surat Menteri Keuangan terkait perkembangan Skema Burden Sharing (berbagi beban) Pembiayaan PEN di Jakarta, awal pekan ini.
Di lapangan menurut Anis, hal ini belum efektif karena likuiditas kembali lagi ke pemerintah atau dengan kata lain tidak tersalurkan ke sektor riil. Dengan penurunan BI7DRR 75 bps, juga tidak bertranmisi secara optimal pada suku bunga kredit perbankan. “Bagaimana pandangan BI terkait dengan hal ini ?” tanya Anis.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menggaris bawahi beban BI yang jauh lebih besar dari pemerintah dalam skema burden sharing. Selain dari operasi moneter melalui quantitative easing yang sesuai dengan skema burden sharing, BI menanggung beban Covid-19 untuk public good Rp 397,60 triliun, BI juga menanggung beban bunga hutang Rp 35,9 triliun ditambah remunerasi Rp 1,1 triliun.
Dengan begitu, sharing beban bunga BI Rp 37,0 triliun atau 54,8 persen dari total beban bunga 67,6 persen. “Ini berarti beban bunga ditanggung BI jauh lebih besar dari yang ditanggung pemerintah. Bagaimana pendapat BI terkait analisis skema burden sharing yang memberikan beban kepada BI jauh lebih besar dibanding beban pemerintah atas bunga hutang?” ujar Anis.
Pemegang S3 Ekonomi Syariah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu mendorong agar BI memiliki skema alternatif burden sharing yang efekktif dan terukur. “Yang resikonya di luar dari skema-skema yang telah menjadi pembahasan dengan Menteri Keuangan” ungkap dia.
Sebagai informasi, meningkatkan defisit yang sangat besar untuk penanganan Covid-19, membuat pemerintah melakukan burden sharing bersama BI. Dalam Perpres no: 72/2020, pemerintah menargetkan defisit anggaran Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga ada tambahan defisit Rp732 triliun dari semula dalam APBN 2020 Rp307,2 triliun.
Untuk menutup defisit itu, Pemerintah memerlukan pembiayaan utang Rp 903,46 triliun. Bunga inilah yang akan ditanggung bersama Pemerintah dan BI. Dari angka itu pembiayaan yang bersifat public goods seperti kesehatan, perlindungan sosial, sektoral, kementerian lembaga, dan Pemda Rp 397,6 triliun. Sementara yang bersifat non public goods seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), korporasi non UMKM, dan lainnya i Rp 505,86 triliun.
Skema burden sharing yang disepakati dibagi atas empat kelompok. Kelompok pertama, public goods, bunganya 100 persen ditanggung BI. Kedua, kelompok non-public goods untuk UMKM beban bunganya akan ditanggung pemerintah menggunakan BI reverse repo rate dikurangi diskon 1 persen.
Skema ketiga ialah kelompok non-public goods korporasi non UMKM, beban bunganya akan ditanggung Pemerintah menggunakan BI reverse repo rate. Skema terakhir ialah non-public goods lainnya akan ditanggung beban bunganya 100 persen oleh pemerintah. (akhir)