JAKARTA – Kearifan lokal atau local wisdom menjadi salah satu bagian dari sistem informasi peringatan dini potensi bencana yang harus tetap dirawat dan ditingkatkan di tiap-tiap daerah.
Upaya mitigasi bencana dan implementasi dari sistem peringatan dini tidak bisa hanya dengan mengandalkan infrastruktur dan sarana prasarana yang dibangun dengan teknologi modern. Perlu adanya pemahaman masyarakat, kearifan yang kemudian menjadi suatu budaya.
Hadir melalui virtual sebagai pembicara dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada hari ketiga, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa kearifan lokal perlu dicanangkan dengan baik.
“Perlu perkuatan tentang local wisdom,” jelas Dwikorita, Jumat (5/3).
Dalam diskusi yang dipandu moderator, Dwikorita mencontohkan masyarakat Simeulue di Aceh yang sudah memiliki kearifan lokal mengenai ‘smong’ atau tsunami dalam bahasa daerah setempat.
Cerita dan informasi yang disampaikan secara turun-temurun melalui ’tutur’ oleh masyarakat Simeulue itu kemudian menjadi sistem peringatan dini yang baik bagi masyarakatnya, sehingga banyak yang selamat dari peristiwa Tsunami Aceh 2004 silam.
Selanjutnya, selain lebih mudah diterima dan dipahami masyarakat, sistem informasi peringatan dini menggunakan kearifan lokal tersebut juga diyakini dapat mendorong masyarakat menjadi mandiri.
“Yang ada di Aceh dan beberapa wilayah di Indonesia. Ketika (masyarakat) merasakan goyangan gempabumi saat berada di pantai sampai 10 – 20 hitungan, (mereka) terus saja lari ke tempat yang lebih tinggi. Tidak perlu lagi menunggu sirine dari BPBD,” terang Dwikorita.
Menyilam pada peristiwa Gempabumi dan Tsunami Palu 2018 yang menelan korban sebanyak 2.045 jiwa, bahwa kemunculan gelombang tsunami hanya berselang kurang lebih dua menit setelah adanya guncangan gempa.
Pada saat itu menurut Dwikorita, sistem peringatan dini yang dimiliki BMKG baru mengeluarkan tanda bahaya pada menit keempat.
Menurutnya, korban jiwa seharusnya dapat ditekan apabila masyarakatnya memiliki pengetahuan dan pemahaman dari kearifan lokal yang kemudian menjadi budaya dan diimplementasikan kepada upaya mitigasi bencana.
Melihat dari fenomena tersebut, dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa sistem peringatan dini berbasis tekonologi modern belum cukup membantu masyarakat dalam mitigasi bencana. Perlu adanya aspek dari sisi kearifan lokal dan juga infrastruktur evakuasi yang memadai.
“Sehingga local wisdom itu yang harus dicanangkan,” tandas Dwikorita.
Rakornas PB BNPB 2021 pada hari ketiga mengusung materi “Hidrometeorologi Basah dan Kering, Perspektif Kebijakan dan Implementasi”.
Selain Kepala BMKG, turut hadir secara tatap muka langsung Gubernur Provinsi Riau, kemudian secara virtual adalah Gubernur Provinsi Kalimantan Barat, Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan, Bupati Sumedang dan Asops Panglima TNI pada sesi kedua.
Sebelumnya pada sesi pertama, telah hadir Menko Polhukam Mahfud MD sebagai pemberi arahan kebijakan dilanjutkan dari perwakilan Menteri PUPR, perwakilan Menteri KLHK, perwakilan Menteri Pertanian dan perwakilan Menteri ATR/BPN pada sesi pertama.
Kegiatan yang dihelat di Hotel Sari Pacific ini dihadiri oleh peserta secara langsung maupun melalui media daring dari Pemerintah Daerah seluruh Indonesia, BPBD seluruh Indonesia, relawan, akademisi, media massa dan unsur komponen K/L serta TNI dan Polri.