Sebagian orang menganggap dengan kedatangan bulan Ramadhan berarti datang bulan untuk santai dalam berkegiatan. Waktu masuk kerja yang biasanya pukul 08.00 pagi dan selesai kerja pukul 15.00 siang, dikurangi menjadi masuk pukul 09.00 dan keluar pukul 14.00. Bekerjapun dengan santai dan malas-malasan.
Alasannya, karena sedang berpuasa, tubuh menjadi lemah. Bila terjadi kekurang disiplinan dalam segala tindakan harap maklum, lagi berpuasa! Begitulah image sebagian kita dalam menghadapi Ramadhan. Sebenarnya asumsi seperti ini amat bertentangan dengan hikmah yang diajarkan oleh Ramadhan itu sendiri. Puasa Ramadhan justru mengajari kita umat Islam untuk lebih giat dalam beramal dan berkegiatan.
Tidak kita dapatkan dari perjalanan hidup Rasulullah SAW bersama para shahabat dan orang-orang shaleh sebelum, Beliau menghentikan dan mengurangi kegiatan atau membiarkan kegiatan hidupnya acak-acakan gara-gara puasa.
Justru mobilitas kegiatan hidup yang mereka lakoni semakin kencang, berkualitas dan disiplin. Sampai diistilahkan bila Ramadhan sudah datang saatnya untuk “menyinsingkan lengan baju dan mengencangkan ikat pinggang”.
.
Perang Badar, penaklukan Makkah dan penaklukan-penaklukan besar setelahnya, seperti perang Qadisiyah, penaklukan Andalusia, perang Zallaqah, perang ‘Ain Jalut, perang Hittin, dan lainnya terjadi pada bulan Ramadhan, dalam kondisi puasa. Pada setiap pertempuran itu mereka mengalami kemenangan yang gemilang.
Mungkinkah amal sebesar itu dilakukan dengan asal-asalan tanpa aturan kedisiplinan yang mengikat? Tentu tidak, karena Ramadhan yang mereka pahami berbeda dengan yang dipahami oleh sebagian kita hari ini. Ramadhan mengajarkan kedisiplinan dan kesungguhan. Itulah salah satu hikmah yang harus kita maknai dari ibadah yang satu ini.
Datangnya Ramadhan bukan artinya hentikan segala aktifitas dunia, dan mari masuk mesjid untuk mengurung diri melakukan ibadah. Bukan seperti itu yang dicontohkan oleh Salafussaleh. Tapi mereka tetap menjalankan tanggungjwabnya memenuhi nafkah dan seluruh aktifitas yang dibutuhkan dalam hidup sebagaimana biasanya. Karena seluruh kebutuhan hidup tidak berhenti ketika Ramadhan datang.
Untuk itu tentu mereka harus meningkatkan kedisiplinan supaya aktifitas untuk memenuhi hajat kehidupan terpenuhi dengan maksimal dan kuantitas serta kualitas ibadah lebih meningkat.
Puasa itu sesungguhnya mendisiplinkan diri seorang muslim. Dia akan berhenti makan, minum dan melakukan segala hal yang akan membatalkannya semenjak terbit fajar sampai tenggelam matahari di sore hari. Padahal tak ada pengawasan siapa-siapa selain Allah kita akan patuh dengan aturan itu.
Orang yang berpuasa tidak akan menelan setetes airpun ketika berkumur-kumur waktu berwudhu, sekalipun tenggorokannya merasakan haus yang mencekik. Dia tidak akan memakan sisa makanan di waktu sahur sekalipun dia sendirian di rumah, meski tidak ada seorangpun yang melihat.
Sepantasnya setiap mukmin yang berpuasa dengan penuh keimanan, menerapkannya pada setiap tindakan dalam hidupnya, bahwa segala gerak geriknya diawasi dan diketahui oleh Allah. Walaupun tidak ada seorangpun yang akan mengetahui tindakannya menggelapkan uang di tempat ia bekerja, dengan jiwa puasa Ramadhan ini, dia tidak akan pernah melakukan perbuatan tercela itu. Sekalipun setiap pekerjaannya tidak diawasi oleh atasan, ia akan tetap bekerja dengan semangat, penuh tanggungjawab dan profesional.
Amat aneh bila seseorang penuh disiplin melakukan ibadah puasa karena ia yakin Allah memperhatikannya, tapi ia lupa kalau Allah juga memantaunya ketika melakukan tindakan-tindakan yang tidak benar di luar bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan begitu antusias memperhatikan menit dan detik untuk menghentikan makan dan minum, tapi di luar Ramadhan bukan sekedar menit dan detiknya yang tidak dihirau, bahkan kehalalan dan keharamannya pun tidak dipedulikan.
Seolah-olah dalam pikirannya, Allah SWT memperhatikan tindak tanduknya hanya di bulan Ramadhan dan Allah biarkan melakukan apa saja di luar Ramadhan. Rasulullah bersabda: “Ihsan itu adalah: engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, bila engkau tidak melihat-Nya yakinlah bahwa Dia melihatmu“.
.
Ruh “ihsan” inilah yang ingin kita hidupkan dengan memaknai Ramadan dengan arti yang sesungguhnya. Bukan sekedar ritual menghentikan makan dan minum tanpa penjiwaan. Bila nilai ini bisa kita resapi dan terapkan, di sanalah akan muncul umat yang penuh kedisiplinan dan berkualitas, sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh generasi awal dulu. Wallahu A’lam.