Ramai-Ramai Menghakimi Gus Miftah, Ada Apa?

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988)

“Es tehmu sih akeh (masih banyak) enggak? Ya sana jual gob*ok. Jual dulu, nanti kalau belum laku ya udah, takdir.” Sebagaimana kita ketahui, kalimat yang kemudian viral itu diucapkan Miftah Maulana Habiburahman alias Gus Miftah kepada penjual es teh. Pendakwah yang juga utusan khusus presiden itupun menjadi sorotan publik akibat kalimat konyolnya yang dianggap merendahkan sang penjual asongan bernama Sunhaji. Perbuatan dai nyentrik itu bahkan (konon) sampai membuat Presiden Prabowo Subianto turun tangan dengan memberi teguran.

Bagi Gus Miftah kalimat itu mungkin hanya dianggap sebagai kalimat candaan biasa. Tetapi, di luar dugaannya dan mungkin juga dugaan kita semua, apa yang mungkin dianggap sebagai candaan itu, ternyata menjadi kalimat yang luar biasa. Kata-kata kasar sebagai pembalut humor itu sebenarnya sudah sering dia ucapkan dalam setiap ceramah-ceramahnya. Semua orang yang menyaksikan dan atau mendengarkannya pun pasti juga telah akrab terhadap banyolan-banyolan gilanya selama ini. Tetapi justru yang demikian menjadi salah satu merek metoda ceramah laki-laki yang pernah kuliah di UIN Sunan Kalijaga ini. Bahkan, dengan gaya bicara demikian, tampaknya telah berhasil membangun komunitas audien tertentu yang bisa disebut fanatik.

Kita pun mungkin bertanya, dari mana dia belajar tentang metode ceramah model itu. Akan tetapi, Ketika mendengar pengakuannya selama ini kita mungkin maklum. Pergaulannya dengan dunia remang-remang di salah satu sudut kota Yogyakarta, pasti sedikit banyak berpengaruh terhadap caranya bertutur kata. Orang-orang dunia remang-remang yang sering disebut marjinal itu, biasanya memang tidak suka basa-basi. Pembuatan kalimat tertentu dengan menggunakan kata-kata kasar di samping lebih efektif kadang juga justru untuk menunjukkan keakraban. Kalimat-kalimat kasar itu sengaja diucapkan dengan maksud agar pesan komunikasi yang berlangsung segera sampai dan mudah diingat. Dan, yang penting, biasanya digunakan untuk menghilangkan jarak psikologis.

Sebagai contoh di Surabaya, kata “dancuk” tidak dapat selalu dipandang sebagai makian (misuh) tetapi juga dapat berarti sebuah simbol keakraban. Orang-orang dengan kriteria tertentu justru lebih merasa ‘terhormat’ jika sapaan pertamanya diawali kata “dancuk”. Padahal, jika dalam kondisi biasa dan diucapkan pada orang-orang ‘saleh’ pasti sangat tabu. Di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, kata “dancuk” atau yang juga sering disingkat “Cuk” dan diksi-diksi kasar lainnya tampaknya terbiasa meluncur dari mulut orang-orang sebagai simbol keakraban. Sebagai orang yang berasal dari Jawa Timur Miftah sering membawa style bicara gaya Jawa Timur-an itu. Pergaulannya dengan dunia remang-remang sering mengharuskannya memakai kata-kata kasar bernuansa sarkastik untuk apa yang menurut psikologi biasa disebut “identifikasi”. Dia sebenarnya tak ubahnya seorang anggota reserse yang kadang harus bertato, berambut gondrong, dan sejumlah penampilan gaya ‘penjahat’ untuk berkawan dengan orang-orang jahat. Miftah sering menggunakan bahasa orang pinggiran untuk mencoba tidak membuat jarak dengan mereka. Kalau polisi sengaja berbuat demikian untuk mengetahui seluk beluk kejahatan untuk mengetahui mata rantai kejahatan, sedangkan Miftah tampil seolah jahat untuk misi mendekati mereka agar pesan dakwahnya sampai. Bayangkan, jika Miftah masuk club malam dengan bergamis plus lilitan surban di kepala ala penampilan habaib dan berkomunkasi dengan diksi-diksi kasalehan.

Bagi yang mengerti ilmu komonikasi sebenarnya yang demikian itu bisa dimaklumi. Suatu kalimat bisa berubah maknanya sesuai konteksnya, bahkan intonasinya. Suasana batin pengucapan pun bisa mengubah makna. Sebagai contoh, ada kalimat tertentu sekalipun ‘jorok’ akan berbeda makna jika dicapkan sambil tertawa dan sambil marah.
Yang ingin kita katakan, dengan kapasitas Gus Miftah saat ini dan kebiasaan konyolnya, serta cara pengucapan dengan sambil tertawa-tawa, pasti kalimat yang oleh medsos dianggap merendahkan orang kecil itu, tidak ada maksud sedikitpun untuk menghina orang kecil seperti Sunhaji. Apalagi, dia adalah orang yang selama ini termasuk komunitas yang diakrabinya. Kalau tidak akrab, mana mungkin Sunhaji berani mendekatinya saat ceramah. Artinya, saat itu sebenarnya Miftah menganggap Sunhaji berada di dunia yang sama. Keberanian Sunhaji mendekati panggung karena dia juga merasa berada pada dunia yang sama. Hanya saja ‘bahasa keakraban’ Gus Miftah kali ini, ternyata dianggap gagal setelah tertangkap media sosial.

Media sosial ternyata terlalu luas untuk dikendalikan Gus Miftah. Gus Miftah yang selama ini sangat terkenal itu, tiba-tiba terlihat sangat kecil. Gus Miftah tidak mungkin melobi medsos untuk tidak mengakiminya, karena medsos tidak pernah mempunyai pengurus harian, seperti ketua, sekretaris, atau bendahara. Hanya saja beberapa ‘pendukungnya’ ternyata jelas. Dan, mereka yang saat ini ikut menghakiminya sebenarnya orang-orang selama ini tidak sejalan dengan Gus Miftah. Ketidaksukaan mereka disebabkan banyak faktor: bisa faktor halauan politiknya, faktor materi dakwahnya selama ini, faktor ormas yang menaunginya, atau sejumlah persoalan primordial lainnya. Mereka saat ini seperti menemukan momentum untuk ‘menghabisi’ pengasuh pesantren ‘Ora Aji’ ini.

Tulisan ini tidak dimaksudkan membela Gus Miftah, tetapi hanya sekedar mengajak kita agar adil dan bijak menilai siapa pun. Karena di era medsos ini, kalau kita tidak hati-hati, sejatinya juga tinggal menunggu waktu, kapan akan mendapat giliran dihakimi medsos. Bagi Gus Miftah peristiwa ini mungkin cara Allah untuk mengingatkannya agar tidak hanya asyik menasihati orang tetapi harus pula melakukan kontemplasi sekaligus mengevaluasi diri mengenai ‘metode’ dakwahnya selama ini.

beritalima.com

Pos terkait