JAKARTA, beritalima.com – Puluhan wakil menteri (wamen) di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diketahui merangkap jabatan sebagai komisaris di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), anak usaha, maupun afiliasi. Fenomena ini menuai perhatian publik dan menjadi sorotan legislatif.
Anggota Komisi IV DPR RI, Nasim Khan, angkat bicara terkait praktik rangkap jabatan tersebut. Ia mengingatkan bahwa secara yuridis, terdapat ketentuan yang semestinya menjadi acuan.
“Dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, disebutkan bahwa menteri maupun wakil menteri tidak boleh merangkap jabatan lain, kecuali di lembaga negara yang terkait,” ujar Nasim Khan saat ditemui pada Minggu (22/6/2025).
Namun, menurut legislator asal Dapil Jawa Timur III (Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi) itu, jabatan komisaris BUMN kerap dianggap sebagai bagian dari perpanjangan tangan pemerintah, sehingga menimbulkan celah hukum.
“Ini yang kemudian jadi ruang tafsir. Ada yang menganggap rangkap jabatan masih dimungkinkan, meski secara etika tetap diperdebatkan,” imbuhnya.
Potensi Konflik Kepentingan
Nasim juga menyoroti praktik ini dari perspektif etika dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Menurutnya, ada potensi konflik kepentingan yang serius.
“Fungsi pengawasan oleh menteri atau wakil menteri bisa tumpang tindih dengan jabatan komisaris yang semestinya menjadi pihak eksternal. Ini melemahkan independensi BUMN,” tegas politisi PKB tersebut.
Selain itu, beban kerja ganda dinilai dapat mengganggu fokus utama para pejabat negara dalam menjalankan tugas-tugas kementerian.
Pengawasan atau Intervensi?
Meski demikian, Nasim mengakui ada pihak yang beranggapan bahwa keberadaan pejabat negara di posisi komisaris justru dapat mempercepat sinergi antara kementerian dan BUMN.
“Komisaris dari unsur pemerintah memang bisa memperkuat pengawasan terhadap BUMN, terutama yang berkaitan langsung dengan program strategis nasional,” terangnya.
Namun, ia menegaskan bahwa pengawasan seharusnya dilakukan secara objektif dan tidak bercampur dengan kepentingan struktural. (*)

