JAKARTA, Beritalima.com– Rekomendasi yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI seringkali disikapi pihak terkait hanya dengan berkirim surat saja, malah pelaksanaan rekomendasi dari lembaga negara tersebut secara riil jarang dilakukan.
Itu diungkapkan politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati ketika Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekjen BPK dan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI Gedung Nusantara I Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pekan ini.
“Dari pengamatan serta informasi yang saya dapat dari BPK Provinsi, rekomendasi yang diberikan BPK RI seringkali hanya disikapi oleh pihak terkait dengan berkirim surat saja, sedangkan pelaksanaan rekomendasi BPK secara riil jarang dilakukan,” kata Anis.
RDP bertajuk ‘Pembahasan Pagu Indikatif BPK dan BPKP dalam RAPBN 2022’ berlangsung dinamis. Pertama yang menjadi catatan Anis, terkait dengan kekuatan BPK dalam memastikan berjalannya rekomendasi yang dikeluarkannya.
Politisi anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) it menyayangkan follow up dari temuan BPK yang hanya cukup disikapi dengan berkirim surat oleh pihak terkait dan BPK seperti berhenti sampai disitu. “Itu sebabnya, sangat bisa difahami mengapa kebocoran masih banyak terjadi,” kata wakil rakyat dari Dapil Jakarta Timur ini.
Anis yang juga Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyoroti data yang disampaikan BPK mengenai capaian kinerja pemeriksaan.
Data itu menyebutkan, sepanjang 2018-2020, BPK RI menemukan 70.499 dari 106.842 permasalahan dengan nilai kerugian Rp 166,23 triliun. Dari temuan itu, 48.111 atau 45 persen merupakan soal ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan Rp 130,66 triliun.
Empatpuluh perser atau Rp 43.038 triliun merupakan permasalahan kelemahan system pengendalian internal dan Rp 15.693 triliun atau 15 persen permasalahan ketidakhematan, ketidak efisienan dan ketidak efektifan yaitu Rp 35,57 triliun.
Terkait dengan data ini, Anis mempertanyakan kinerja BPKP yang memiliki fungsi salah satunya melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara, meliputi kegiatan lintas sektoral, kebendaharaan umum negara dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
“Dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya, semestinya BPKP bisa turut andil meminimalisir ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dan kelemahan system pengendalian internal,” tutur Anis.
Terkait dengan pagu indikatif dimana BPK mengajukan anggaran Rp 4,591 triliun sementara Menteri Keuangan menganggarkan Rp 3,729 triliun untuk 2022. Karena itu, BPK mengajukan tambahan anggaran Rp861,99 miliar untuk disetujui Komisi XI DPR RI.
Anis menilai, angka itu sangat wajar mengingat beratnya tugas yang harus ditunaikan BPK. Namun, dia menyoroti serapan anggaran BPK pada 2020 yang belum 100 persen. Serapan anggaran BPK hanya 95,5 persen dan itu mengalami penurunan dari tahun sebelumnya (98,21 persen).
“Seharusnya BPK memiliki langkah-langkah antisipatif agar penyerapan anggaran dqpat optimal sehingga kerja-kerja BPK tidak terganggu,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)