JAKARTA, Beritalima.com– Ketua Rabithah Haji Indonesia, Drs H Ade Magfuddin mengatakan, Pasal 75 Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan UU No: 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh.
Hal tersebut dikatakan Ade dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) secara virtual dengan Komite III DPD RI dalam usaha pengayaan materi atas Naskah Pandangan dan Pendapay DPD RI terhadap RUU Cipta Kerja yang sudah diajukan Pemerintah ke DPR RI, pertengahan pekan ini. RDPU itu selain menampilkan Ade Magfiuddin juga Ir Said Iqbal ME selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). RDPU dipimpin Wakil Ketua Komite III DPD RI, Evi Apita Maya.
Secara substansi, kata Ade, norma pengaturan yang ada dalam draf RUU Cipta Kerja khususnya bidang Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memberikan penguatan untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Soalnya, yang dipersoalkan dalam draft RUU Cipta Kerja lebih pada aspek pelaporan, pembukaan kantor cabang PIHK dan PPIU, perubahan ancaman pidana menjadi sangat administratif dan tendensius keberpihakan kepada dunia usaha saja.
Terkait aspek kewajiban PPIU untuk melaporkan kepada Pemerintah Pusat bukan kepada Kanwil Agama setempat dianggap tidak efektif dan efisien serta berpotensi menimbulkan birokrasi baru mengingat banyak PPIU yang domisili perusahaannya tidak di Jakarta.
RUU Cipta Kerja hanya memberikan kemudahan perizinan berusahan serta kemudahan dan persyaratan investasi kepada PPIU dan PPIH. Namun, tidak adanya ketegasan dalam perlindungan atau proteksi hak-hak calon jamaah haji dan umrah yang dilaksanakan PPIU dan PPIH.
Selain itu adanya pemikiran untuk merubah sangsi dari pidana menjadi sangsi administrasi dinilai kurang tepat, bahkan memberi peluang terbuka bagi PIHK dan PPIU untuk melakukan dan mengulang kejahatan yang serupa terhadap jemaah umrah. Justru seharusnya pemikiran RUU Cipta Kerja lebih kepada peningkatan sangsi pidana yang lebih berat dan berefek jera kepada pelaku usaha dibidang haji dan umrah bukan malah sebaliknya melemahkan yang sudah ada.
“UU Haji dan Umrah, kata Ade, pada prinsipnya telah cukup mengatur terkait norma PIHK dan PPIU dengan baik sehingga tidak perlu masuk dalam wilayah pembahasan RUU Cipta Kerja. Kalau harus ada perubahan dan perbaikan terhadap sebagian Bab dan Pasal pada UU PIHU No: 8/2019, berikan waktu setelah minimal 3 tahun UU itu jalankan oleh Pemerintah dan Masyarakat (PIHK dan PPIU).
Terkait dengan UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja, menurut Said Iqbal, Pemerintah dan DPR RI telah sepakat, kluster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja akan dibahas ulang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan khususnya melibatkan serikat pekerja/serikat buruh. Hal itu sebagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia melawan pandemi Covid-19 dan mengatur strategi bersama mencegah darurat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Serikat pekerja/buruh secara tegas bersikap bahwa Pembahasan RUU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan untuk ditunda sampai Pandemi Covid-19 selesai. Norma terkait kluster ketenagakerjaan dibahas ulang dengan melibatkan serikat pekerja/buruh.
Komite III DPD RI berpandangan, masukan narasumber akan diakomodir sebagai bahan pengayaan materi atas Naskah Pandangan dan Pendapat Komite III terhadap RUU Cipta Kerja. Secara subtansi Komite III DPD RI siap melakukan pembahasan bersama dengan DPR dan Pemerintah (Tripartit) terhadap RUU Cipta Kerja dan tentunya pembahasan dapat dilakukan setelah Pandemi Covid-19 berakhir.
Karena itu, Komite III DPD RI meminta Pemerintah melakukan evaluasi atas kebijakan Jaring Pengaman Sosial Covid-19 agar tepat guna dan sasaran, khususnya bagi para pekerja yang rentan terkena dampak Covid-19 serta yang terkena dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). (akhir)