LABUHA, Beritalima.com – Persoalan terkait kesejahteraan buruh seakan tak ada habisnya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei diramaikan dengan demonstrasi menuntut hak buruh. Di Maluku Utara, peringatan May Day dipusatkan di depan kantor wali kota Ternate.
Massa aksi menamakan diri Gerakan Perjuangan Buruh Malut. Dalam aksinya, massa yang berasal dari elemen organisasi pekerja dan mahasiswa itu menyampaikan sejumlah tuntutan. Diantaranya adalah peningkatan kesejahteraan buruh melalui pembayaran upah sesuai UMK/UMP, penghentian sistem tenaga kerja kontrak, dan penghentian PHK massal.
Massa aksi juga menyoroti pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Massa menilai, terbitnya Perpres ini Maret lalu bakal meningkatkan penguasaan investor asing terhadap sumber daya alam Indonesia.
Keberadaan TKA di Malut juga masuk dalam sorotan May Day. Saat ini, jumlah TKA di Indonesia berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencapai 85.947 orang. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan pada 2016 lalu yang hanya sebanyak 80.375 orang.
Di Malut sendiri, jumlah TKA sudah mencapai angka 1.085 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017 yang berjumlah 967 orang. 1.085 TKA tersebut bekerja di 17 perusahaan berbeda.
Di Halmahera Selatan saja, terdapat 689 TKA. Mereka dipekerjakan perusahaan sektor tambang PT Mega Surya Pertiwi sebanyak 238 orang, PT Metallurgical Corporation of China 47 orang, PT China Machinery Industry Contruction 5 orang, PT Wanatiara Persada 67 orang, dan PT Jin Chuan 324 orang. Tambang-tambang ini terletak di Pulau Obi. TKA yang bekerja di sektor tambang tersebut rata-rata berasal dari Republik Rakyat Tiongkok.
Sedangkan 8 pekerja lainnya berasal dari Korea dan bekerja di perusahaan kelapa sawit PT Gelora Mandiri Kelapa Sawit. Perusahaan ini beroperasi di wilayah Gane Dalam.
Barisan Pemuda Pelopor (BAPPOR) Pulau Obi mengungkapkan, keberadaan TKA di Obi tak hanya untuk mengisi posisi tenaga ahli. Ada pula yang bekerja sebagai buruh kasar. “Misalnya di Jin Chuan Construction,” tutur Koordinator BAPPOR M. Risman Boti kepada beritalima.com, Selasa (1/5/2018).
Risman menuturkan, lolosnya TKA sebagai buruh kasar menandakan lemahnya pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Halsel terhadap para pekerja asing. Ia bahkan mencurigai adanya kongkalikong antara pihak investor dengan oknum pejabat Disnakertrans. “Mereka menyatakan para TKA asal Tiongkok di Obi bekerja sebagai tenaga ahli. Tapi faktanya mereka pekerja buruh kasar juga yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh tenaga kerja lokal. Atau mungkin ada permainan di internal Disnaker Halsel atas lolosnya para TKA Tiongkok yang masuk di Obi bekerja sebagai buruh kasar?” katanya mempertanyakan.
BAPPOR juga menyayangkan Perpres 20/2018 yang dinilai memudahkan masuknya investor dan TKA. Apalagi kondisi alam di Obi kian rusak dengan beroperasinya perusahaan-perusahaan tambang. “Pemerintah membiarkan mereka masuk dengan mudah berdasarkan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA. Di sisi lain, Disnaker Provinsi dan Halsel amat lemah dalam mengawasi penggunaan TKA,” kecamnya. (iel)