SURABAYA, Beritalima.com |
Menghadapi akhir tahun 2020, popularitas dan kuantitas berita pandemi Covid-19 semakin menurun di kanal berita nasional maupun sosial media. Padahal di akhir November, Indonesia mengalami tren peningkatan jumlah kasus harian yang begitu signifikan. Hingga kini, rekor tertinggi tercatat pada Minggu (29/11/2020), di mana terdapat 6.267 kasus positif baru.
Data tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan apakah kini Indonesia tengah mengalami puncak pandemi Covid-19? Padahal, masyarakat sendiri akan segera menghadapi jadwal liburan akhir tahun, cuti bersama, serta pilkada serentak yang berpotensi besar menimbulkan kerumunan dan penyebaran virus.
Menurut Dr. M. Atoillah Isfandi, dr., M.Kes. ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR), rekor penambahan kasus harian tersebut memang perlu diwaspadai, namun bukan menjadi penanda utama puncak pandemi di Indonesia.
Hal ini terjadi karena data atau akumulasi kasus harian Indonesia yang tidak real time dan kurang valid. Laporan harian yang diumumkan harusnya adalah kasus yang dilaporkan dan bertambah pada hari itu. Sementara di Indonesia, data yang dihimpun mengikuti arus laporan daerah yang seringkali mekanismenya berbeda datu sama lain.
Wakil Dekan II FKM UNAIR tersebut menjelaskan bahwa Jawa Timur sendiri sering mengalami tarik ulur data yang mengganggu akumulasi data nasional. Seringkali data yang dihimpun dalam bentuk ‘cicilan’ yang tidak setiap hari disetor.
“Ada banyak alasan, seperti agar terlihat stabil. Tapi hal tersebut akan sangat merugikan dalam pengambilan keputusan. Harus diingat kalau keputusan yang tepat datang dari data yang tepat dan valid,” paparnya dalam Kajian Ilmiah Nasional Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR pada Minggu (29/11/2020).
Selain itu, perbedaan data antara daerah dan pusat juga sering terjadi akibat perdebatan asal kasus positif. Hal tersebut umumnya terjadi saat pasien positif memiliki domisili, daerah asal, atau tempat perawatan yang berbeda-beda.
“Makanya kadang sulit menentukan kasus tersebut akan masuk daerah mana. Ini juga berpotensi pada tumpang tindih data antar daerah dan akhirnya mengganggu akumulasi data pusat,” jelasnya.
Oleh karena itu, Dr Atoillah meyakini bahwa meski data menunjukkan rekor tertinggi, namun hal tersebut tidak dapat menjadi acuan kapan puncak pandemi terjadi di Indonesia. Karena selain data yang non-realtime, bisa jadi data yang dilaporkan pada hari tertentu merupakan komponen yang sudah diperiksa bulan lalu namun baru dilaporkan pada hari tersebut.
Akan tetapi meski tidak dapat dijadikan acuan, harus diakui bahwa terjadi peningkatan angka positif khususnya pasca jadwal cuti bersama di awal November lalu. Apabila mengikuti timeline, Dr Atoillah melihat bahwa agenda liburan atau jadwal weekend ternyata akan cenderung diikuti dengan peningkatan kasus.
“Fakta ini juga didukung dengan banyaknya transmisi virus yang terjadi melalui keluarga atau kerabat. Maka dari itu jadwal liburan dan kumpul keluarga masih berpotensi besar meningkatkan jumlah kasus baru,” imbuhnya.
Maka menyikapi jadwal libur akhir tahun serta pilkada serentak yang akan segera digelar, Dr Atoillah mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat mampu secara bijak dalam bertindak.
“Pandemi akan cepat selesai di negara atau daerah yang disiplin, seperti halnya Australia, New Zealand, atau China. Oleh karenanya jika ingin kasus segera melambat, sistem dan kebijakan harus lebih tertata rapi dengan tingkat disiplin yang tinggi,” tutupnya.(yul)