SURABAYA, beritalima.com | Pilwali Surabaya sudah hampir pasti akan diselenggarakan pada Desember 2020. Sedangkan para kandidat, mulai banyak yang tenggelam dan menyisakan beberapa kandidat saja yang masih bisa menunjukkan persneling gerakannya.
Diantara yang masih tersisa adalah Lia Istifhama, figur perempuan yang sempat disebut sebagai Calon Bonek (bondo nekad-red) akibat paradigma kontenstasi Pilwali menuntut bondho (uang) ratusan miliar.
“Seperti yang pernah saya sampaikan, dibilang Bonek ya alhamdulillah. Wong saya memang Suroboyo asli. Yang terpenting, waktu telah membuktikan siapa saja yang masih bisa running hingga saat ini. Bagi saya, fakta ini penting untuk menyampaikan pada masyarakat, bahwa ojok wedhi berkarya, karena karya itu gak harus kaya, gak kudu sugeh sik. Kalau kita niat proses untuk berbuat baik, yakin saja, rezeki itu opo jare sing ngecat lombok (Tuhan YME),” tutur lia istifhama, Rabu 2 Juli 2020.
Menurutnya, sebuah kepemimpinan itu ibarat siroh (kepala) dan buntut (ekor). Kalau orang di posisi sebagai kepala, maka penting baginya sebagai pengayom yang harus peduli dan tulus pada yang ada di buntut.
“Dalam Pilwali ini, beberapa kali ada kandidat yang ingin bersinergi dengan saya. Selalu saya sampaikan, tolong jalin hubungan baik dengan para relawan karena tidak mungkin saya asal nerima sebuah pinangan tapi menafikan perjuangan dan kebaikan relawan. Sebaliknya, sering kali ada kandidat yang berusaha mengambil jaringan relawan saya tapi enggan menjalin hubungan dengan saya karena mungkin konteks mereka, saya ini dianggap kompetitor. Kalau sudah gitu, saya sampaikan secara sederhana. Kebijakan seseorang terlihat ketika dia bisa memahami sesuatu hal secara holistik, menyeluruh,” paparnya.
“Kalau cuman mau madu, yaitu mengambil sebuah jaringan tanpa berusaha memahami, kenapa sebuah jaringan ini kuat, maka haqqul yakin, orang seperti itu sangat sulit menjadi pemimpin yang memiliki grass root kuat. Saya kira kurang keren aja yah, kalau orang hanya besar di permukaan tapi lemah di akarnya”, ujar putri almarhum KH Masykur Hasyim tersebut.
Sosok millenial yang dikenal sebagai aktivis itu menambahkan, pentingnya kekuatan jaringan relawan yang masih masif dimilikinya.
Terkait pertemuan virtual dengan gabungan partai non parlemen , Lia menjelaskan apresiasinya.
“Pada prinsipnya, merangkul semua pihak itu penting. Kita tidak bisa menafikan kekuatan partai non parlemen, baik itu Hanura, PBB, Perindo, PKPI, Garuda, dan Berkarya. Saya sendiri sebelumnya sudah sering bertemu dengan pak Kelana (Hanura) ketika kampanye Pilgub 2018, beliau orang yang sangat baik”, jelasnya.
Pembina sebuah ponpes ini, juga menjelaskan bahwa kekuatan partai non parlemen tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Terbukti, ketika Pilgub 2008, kekuatan partai non parlemen signifikan, lho. Yang terpenting, jangan memandang apapun sebelah mata. Bisa jadi, sesuatu yang selama ini kurang diperhitungkan, kelak malah menjadi kekuatan yang harus sangat diperhitungkan”, pungkasnya. (Red).