JAKARTA, Beritalima.com– Masih terjadi pembiaran friksi mengarah kepada konflik golongan di tengah masyarakat yang terkesan sangat mendiskreditkan umat Islam sebagai mayoritas penuduk Indonesia.
Itu merupakan cerminan kehidupan politik di Indonesia sepanjang 2018. “Pembiaran itu berbahaya bagi pemahaman atas hakekat Persatuan Indonesia sebagai ruh integrasi dan integritas nasional,” kata Koordinator Presidium Majelis Nasional Alumni Himpunan Mahasiswi Islam (Forhati), Hanifah Husein.
Itu dikatakan Hanifah dalam keterangan tertulis melalui WhatssApp (WA) kepada Beritalima.com, Jumat (29/12) berkaitan Refleksi Akhir tahun Forhati.
Akibatnya, jelas Hanifah, proses konsolidasi demokrasi di Inonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, terutama karena berkembang secara massif benturan pemahaman tentang hakekat kebangsaan, yang terkesan hendak memisahkan dimensi ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa dimensi kebangsaan yang bertumbuh sejak awal abad ke 20 (sekurang-kurangnya sejak 1905) bertegak di atas esensi nilai ke-Indonesia-an, ke-Islam-an, dan kebudayaan yang beragam.
“Dimensi kebangsaan itulah yang tercermin dalam Pancasila yang menawarkan nilai religius, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi kerakyatan, dan keadilan,” papar Hanifah.
Dari aspek hukum sepanjang 2018, Forhati menilai pemerintah terkesan belum sepenuhnya memusatkan perhatian pada penegakan hukum berkeadilan. Kebijakan pemerintah masih tebang pilih dalam memperlakukan masyarakat.
Penegak hukum hanya disibukkan kasus-kasus tertentu, seperti ujaran kebencian yang multitafsir dan berdampak pada penurunan daya kritis masyarakat dalam berpartisipasi aktif korektif karena saluran aspirasi yang tersumbat dan tidak netral,” kata Hanifah.
Hatifah yang didampingi Sekjen Majelis Nasional Forhati, Jumrana Salikki lebih jauh mengatakan, di bidang pemberantasan korupsi, Forhati menilai aksi pemberantasan korupsi belum menjangkau akar masalah yang sebenarnya.
“Masyarakat termasuk Forhati dapat menyaksikan kasus-kasus keadilan yang terjadi, seolah-olah keadilan adalah milik orang kuat dari sisi apapun,” tegas dia.
Dari aspek ekonomi, sepanjang 2018 Forhati menilai berlangsung berbagai persoalan asasi ekonomi yang menyeret bangsa ini ke dalam silent crisis.
Pemerintah Indonesia tidak cukup kuat menghadapi beragam fakta brutal berupa fluktuasi perekonomian dunia yang dalam banyak hal menggoyahkan kekuatan moneter, dan berujung pada kondisi perekonomian bangsa secara keseluruhan.
Pemerintah nyaris tidak pernah mengemukakan secara terbuka neraca keuangan negara yang memungkinkan diterbitkan dan diberlakukannya berbagai kebijakan fundamental ekonomi, terutama terkait dengan penanaman modal asing (Foreign Direct Invesment), utang luar negeri pemerintah dan utang swasta yang ditanggung pemerintah.
Terkait kebijakan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, Forhati menilai, belum sepenuhnya terasakan bermanfaat langsung oleh rakyat, belum juga dapat dirasakan dampak kesejahteraannya. “Di lapangan justru terjadi penurunan kemampuan ekonomi termasudaya beli.”
Sonsong 2019
Dalam menyonsong 2019, terutama digelarnya pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif, Forhati berkomitmen untuk menyukseskan Pemilu 2019 tersebut.
Karena itu, Forhati mengimbau anggotanya untuk menggunakan hak pilih secara cerdas dengan pertimbangan jauh ke depan, dan tidak mengabaikan hak pilih tersebut karena golput dapat merugikan kehidupan agama, nusa, dan bangsa ke masa depan.
Memprioritaskan memilih calon anggota legislatif, baik DPR, DPD dan DPRD dari kader atau anggota Forhati, kader dan atau alumni HMI, kader dan atau anggota keluarga besar HMI di lingkungannya masing-masing.
Forhati juga mengambil inisiatif menjadi saksi dan atau peran lain untuk mengawasi jalannya seluruh proses penyelenggaraan Pemilu 2019, sehingga dapat terselenggara secara berkualitas: bebas, jujur, adil, rahasia, serta terhindar dari kecurangan. (akhir)