Rem Darurat PSBB Dan Sejuta Keanehan

  • Whatsapp

Oleh:
Rudi S Kamri

Gubernur DKI Jakarta dengan yakinnya menarik rem darurat alias segera menetapkan kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara total di Jakarta pada 14 September 2020. Alasannya seolah sangat ‘humanis’, kasus positif Covid-19 di Jakarta melonjak, rumah sakit penuh dan makam berpotensi kehabisan lahan. Suatu alasan yang sangat horor dan membuat bulu kuduk merinding.

Rupanya Gubernur DKI Jakarta terbiasa menggunakan pendekatan seram untuk menangani penyebaran Covid-19. Seperti menggunakan peti mati dan kosa kata ‘makam’ buat menakut-nakuti rakyatnya. Dan kita tidak kaget tentang hal ini, karena pendekatan ‘ayat dan mayat’ memang sudah akrab digunakannya untuk menaklukkan rakyat Jakarta saat Pilkada 2017 lalu. Sang Gubernur terlihat tidak pernah membesarkan hati rakyatnya dengan menyuntikkan optimisme bahwa angka kesembuhan penderita Covid-19 ini semakin hari semakin meningkat tajam. Paparan virus kebahagiaan untuk meningkatkan kekebalan tubuh rupanya juga tidak ada dalam kamus Gubernur.

Secara pribadi saya tidak terlalu yakin dengan amar keputusan Gubernur DKI Jakarta kali ini. Karena saya melihat Pemda DKI Jakarta sering membuat kebijakan yang ‘trial n error’ dan sering tebang pilih dalam penanganan pandemi Covid-19 ini. Sebagai contoh, Satpol PP dengan atribut ala Polisi India dengan seram menenteng peti mati sering merazia warga Jakarta dalam penggunaan masker di siang hari. Tapi kerumunan dan keriaan malam di beberapa tempat seperti di pelataran museum Fatahillah, bundaran Bulungan, kehidupan malam di Cililitan dan beberapa tempat lainnya dibiarkan.

Kebijakan Ganjil Genap diterapkan. Tidak peduli terjadi penumpukan orang di halte TransJakarta dan Stasiun MRT. Pemda DKI Jakarta juga terlihat tidak ada koordinasi dengan Polda Metro Jaya sehingga sering mengijinkan kerumunan massa untuk demonstrasi. Sekarang pada saat kasus positif Covid-19 melonjak serta-merta menarik rem darurat dan mengorbankan sektor ekonomi lain (Ojol, Mall, Restoran, Hotel, kantor dll) yang selama ini sudah patuh menjalankan protokol kesehatan dengan ketat.

Efektifkah?
Saya tidak yakin.

Tingkat kepatuhan warga saya prediksi juga pasti tidak semasif seperti awal April lalu. Karena rakyat perlu bergerak untuk mencari makan. Pada saat Pemerintah tidak mampu memberikan makan rakyat, sangat masuk akal kalau rakyat bergerak untuk menggeliatkan ekonomi dirinya dan keluarganya dengan berbagai cara. Mereka perlu makan jadi tidak mempan ditakut-takuti dengan makam atau peti mati. Bukan hanya masyarakat ekonomi di bawah, semua kluster masyarakat juga perlu bergerak untuk menghidupkan keran ekonomi yang sekian bulan collaps.

Yang mengherankan Pemerintah Pusat seolah terlihat tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengintervensi Pemda DKI Jakarta. Para Menteri hanya berceloteh di media Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok, rupiah akan melemah, industri retail akan semakin collaps tapi tidak bergerak untuk berbuat sesuatu untuk memberi masukan kepada Pemda DKI Jakarta. Padahal Presiden sudah membentuk Komite Penanganan Pandemi Covid-19 yang menangani masalah kesehatan dan ekonomi secara komprehensif. Kemana mereka?

Gubernur DKI Jakarta dengan cengengesan mengatakan bahwa keputusannya untuk menarik rem darurat sejalan dengan apa yang dikatakan Presiden. Benarkah sejalan? Saya tidak yakin. Gubernur DKI Jakarta hanya sukses berselancar bebas mengambil kebijakan apapun di tengah momentum silang sengkarut koordinasi antar instansi di Pemerintah Pusat yang sangat buruk.

Dengan banyaknya keanehan ini, saya tidak menyalahkan kalau banyak kecurigaan yang beredar masif di masyarakat bahwa kebijakan rem darurat ini hanya akal-akalan Pemda DKI Jakarta untuk menarik dana penanganan Covid-19 yang besarnya trilunan. Belum lagu kecurigaan terjadinya pengalihan isu terkait konspirasi mematikan microphone di ruang sidang DPRD DKI Jakarta saat laporan pertanggungjawaban APBD Gubernur DKI Jakarta beberapa hari lalu. Lalu apa peran dan fungsi DPRD Jakarta?

Emang masih ada DPRD DKI Jakarta???

Entahlah. Saya hanya merasa tidak terlihat ada grand design penanganan Covid-19 dari Pemerintah yang bisa membuat saya tenang. Dan akhirnya yang terjadi Kepala Daerah begitu bebas secara sporadis berimprovisasi dalam membuat keputusan apapun. Rakyat seperti kelinci percobaan yang bebas disuguhi kebijakan yang coba-coba.

Entahlah. Yang penting kita jaga protokol kesehatan: selalu memakai masker, sering mencuci tangan dan menjaga jarak interaksi. Dan yang penting selalu menjaga kondisi tubuh selalu sehat, pikiran bahagia dan optimis.

Termasuk optimis bahwa siapapun pemimpin yang mendzolimi rakyat seperti mengakali dana penanganan Covid-19 untuk kepentingan pribadi atau partainya akan segera masuk pada peti mati tidak sekedar hanya 5 menit.

Salam SATU Indonesia
11092020

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait