JAKARTA, Beritalima.com– Legislator perempuan Dapil Provinsi Maluku, Saadiah Uluputty menyoroti kebijakan legitimasi impor pangan yang tertuang dalam UU No: 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah menjadi salah satu sumber kekisruhan persoalan pangan dalam negeri, terutama pada regulasi ketersediaan pangan.
Pasalnya, ungkap anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi Pertanian, Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LH) tersebut, impor merupakan salah satu sumber pangan nasional yang disejajarkan dengan produksi pangan dalam negeri.
“Ini menjadi awal yang suram bagi bangsa Indonesia dalam pengelolaan pangan nasional, mulai dari produksi, distribusi hingga tata niaganya. Perlu evaluasi besar-besaran pada persoalan tata kelola pangan ini agar tidak terlalu berlarut yang akhirnya akan menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari,” tutur Saadiah.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI secara terbuka mengapresiasi upaya yang dilakukan Pemerintah mewujudkan ketahan pangan nasional melalui program Food Estate. Namun, perempuan berhijab ini mengajak seluruh pihak termasuk Pemerintah dan jajarannya melihat persoalan pangan ini secara luas, salah satu titik paling krusial kebijakan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai dari regulasi hingga pelaksanaannya di lapangan.
Legislator yang mengawali karir politiknya sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku ini mencontohkan beberapa dampak yang mulai terlihat akibat di sahkannya UU Cipta kerja berkaitan persoalan impor pangan. Ekses dari UU itu yang jelas antara lain, dimulai dari rencana Pemerintah mengimpor 1 juta ton beras 2021, impor 3 juta ton garam, impor 500.000 ekor sapi/kerbau dan impor jahe
Bahkan impor ikan setiap tahun mengalami peningkatan, padahal dua pertiga dari negeri ini adalah laut. “Saya memperhatikan, kok ada yang salah dari perencanaan Pemerintah Jokowi terkait pangan, dimana perencanaan pemerintah seperti berdiri pada salah satu sudut dan realitas berada di sudut yang lain,” ujar Saadiah.
Aktivis Perempuan PKS ini menyayangkan Koordinasi antar kementrian dan lembaga masih terlihat amburadul. Bahkan menurut dia, Jokowi tampak memperoleh data keliru terkait impor beras yang menurut beliau Indonesia tidak pernah impor beras 3 tahun terakhir.
Padahal fakta merujuk dari data Badan Pusat Statistik (BPS) impor beras 2018 mencapai 2,25 juta ton, tahun berikutnya 445.000 ton dan 365.000 ton. “Yang paling ironi, menurut dia, sisa impor 2018 yang saat ini masih tersisa di gudang Badan Urusan Logistik (Bulog) dan berpotensi menjadi barang yang kadaluarsa untuk di konsumsi manusia,” demikian Saadiah Uluputty. (akhir)