JAKARTA, Beritalima.com– Legislator dari Dapil VI Provinsi Jawa Timur yang membidangi Perdagangan&Perindustrian, Amin Ak mempertanyakan rencana Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengimpor 1 juta ton beras.
Soalnya, jelas Amin Ak dalam keterangan pers yangditerima awak media, Minggu (14/3), berdasarkan data produksi proyeksi stok beras nasional, tidak ada urgensinya pemerintah mengimpor bahan pangan pokok tersebut dan malahan impor sebanyak itu hanya merugikan pelaku usaha pertanian dalam negeri.
Jika saat ini impor beras dipaksakan, lanjut politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, muncullah kecurigaan dari masyarakat terkait masih kuatnya mafia pangan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dan, ini sulit untuk dibantah.
“Inilah waktu yang tepat buat bekas Walikota Solo itu untuk membuktikan janji yang pernah diucapkannya kepada masyarakat untuk memberantas mafia pangan dan para pemburu rente ekonomi yang merugikan rakyat dari Dapil Kabypaten Jember dan Lumajang tersebut.
Dugaan adanya praktek berburu rente oleh rent seeker, kata pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah tersebut, didasarkan kepada adanya selisih harga beras di pasar dalam negeri dan internasional yang begitu tinggi, sekitar Rp 2.400 per kilogram. Dengan jumlah impor beras mencapai 1 juta ton, marginnya mencapai Rp 2,4 triliun.
Menurut Amin, setiap tahun kebijakan impor beras dilakukan pemerintah di saat panen raya. Apa yang dilakukan Pemerintahan Jokowi tersebut tentu saja sangat merugikan petani karena memaksa harga beras mereka turun atau berada dibawah biaya produksi petani.
Jika petani terus diganggu dan dibikin rugi seperti itu, lanjut anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini, membuat semakin banyak petani yang menjual lahannya serta beralih profesi. Jika kondisi ini terus terjadi, mimpi kemandirian pangan maupun swasembada pangan yang acap didengung-dengungkan Jokowi dihadapan rakyat tidak akan pernah terwujud.
“Saya tantang Pak Jokowi untuk membuktikan janjinya memberantas mafia pangan di negeri ini. Mafia adalah penyebab ekonomi biaya tinggi. Mereka mengendalikan rantai distribusi pangan bahkan masuk ke sistem pemerintahan dan mengatur kebijakan,” tegas Amin.
Lebih jauh, Amin mengatakan, keputusan pemerintah merencanakan impor tidak sesuai fakta dan data di lapangan. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras 2020 mencapai 31,33 juta ton. Angka itu lebih tinggi dibanding 2019 yang mencapai 31,31 juta ton.
Dengan konsumsi rata-rata per kapita 111,58 kg per tahun, Indonesia yang berpenduduk 270 juta jiwa membutuhkan sekitar 30 juta ton beras per tahun, atau 2,5 juta ton per bulan. Dengan kondisi iklim pada akhir 2020 hingga awal 2021 yang sangat kondusif, sehingga produksi padi tahun ini dapat diproyeksikan naik 4,86 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari data-data itu, stok beras nasional pada akhir 2020 mencapai 6,74 juta ton. Dengan proyeksi produksi Januari–Maret 8,26 juta, menjelang bulan puasa atau Ramadhan tahun ini, stok beras nasional mencapai 15,01 juta. Dengan kebutuhan beras triwulan pertama 2021 yang mencapai 7,48 juta, per Maret 2021 ada cadangan beras sebesar 7,5 juta Ton.
“Pertanyaannya, untuk siapa sebenarnya beras impor tersebut? Karena sesunggunya kebutuhan masyarakat sudah bisa dipenuhi dari produksi petani Indonesia sendiri. Lalu buat apa gembar gembor kita harus benci produk impor itu,” demikian Amin Ak. (akhir)