JAKARTA, Beritalima.com– Pengamat kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mempertanyakan keampuhan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 dalam upaya melakukan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan peserta Sidang Paripurna DPR RI, Jumat (14/8).
Soalnya, bisa menimbulkan resiko politik yang sangat besar, menyebabkan instablitas dan ketidakpercayaan publik terhadap Pemerintah dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi, sementara disatu sisi kasus Covid-19 di Indonesia masih terus menunjukkan peningkatkan.
“Asumsi pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen dalam APBN 2021 masih menimbulkan pertanyaan besar? Karena kita melihat peningkatkan Covid-19 berlanjut dan kemampuan penyerapan fiskal masih tanda tanya,” kata Achmad Nur Hidayat dalam ‘Orientasi Kepemimpinan (OKE) API Gelora dengan tema ‘Prospek Pemulihan Ekonomi Indonesia’ yang digelar partai Gelora Indonesia di Jakarta, Sabtu (15/8).
Menurut pria yang akrab disapa Madnur tersebut, Presiden Jokowi harus mengambil pelajaran berharga kebijakan Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang didemo rakyatnya, karena dianggap salah dalam mengambil kebijakan ekonomi.
“Ekonominya relatif stabil, tapi angka Covid-19 naik terus sehingga mengakibatkan hilangnya warga negara (meninggal, red). Korban jiwanya banyak, sehingga Bolsanaro didemo besar-besaran rakyatnya. Ini pelajaran yang harus kita pelajari, kalau kita ingin pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Karena itu Madnur berharap Jokowi belajar dari kasus yang terjadi Brasil, jika ingin mengejar pertumbuhan ekonomi. Sebab, secara politik resiko jauh lebih besar dibandingkan dengan mengejar ekonomi.
“Dengah dalih menyelamatkan ekonomi, resikonya jauh lebih besar. Resiko politik, instabiitas dan juga bisa menimbulkan sosial unrest (kerusahan sosial). Padahal pemerintah bisa menahan meningkatnya Covid-19,” papar Madnur.
Dikatakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelora Indonesia tersebut, sebagian besar negara di dunia ekonominya minus dan terkoreksi sangat dalam, karena memberlakukan lockdown dan membatasi aktivitas masyarakatnya, untuk menekan jumlah Covid-19 yang terjadi negara itu.
“Ekonomi memang kehilatan normal, karena pasar dan pusat perbelajaan sudah dibuka. Tetapi ekonomi masih sepi, karena melihat penanganan Covid-19 tidak jelas dari pemerintahan Jokowi,” kata dia.
Karena itu, pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen dalam RAPBN 2021 dengan defisit 5,5 persen saat ini, resiko ketidakpastian ekonomi domestiknya masih tinggi.
Pesimis itu juga dipicu rendahnya serapan anggaran dalam APBN 2020 yang sampai Agustus ini baru 40 persen. Lalu, realisasi belanja K/L baru 48 persen, realisasi anggaran PEN, baru 21,8 persen. “Kalau mau selamat, ekonomi kita harus menggenjot belanja negara kita sampai 60 persen, ada gap yang tinggi dalam serapan anggaran. Triwulan ketiga yang akan berakhir September nanti, dipastikan negatif lagi,” jelas Madnur.
Sementara ekonom senior Indef, Fadhil Hasan dalam kesempatan yang sama mengatakan, secara umum Indonesia sudah memasuki resesi ekonomi dan terjadi konstraksi cukup dalam. “Kita sudah masuk resesi atau tidak, bisa dirasakan, salah satunya tentang lapangan pekerjan, terjadinya banyak pengangguran. Banyak pekerja di PHK dan dirumahkan, serta kebijakan pemotongan gaji,” kata Fadhil.
Karena itu, pemulihan ekonomi pada triwulan ketiga pada September ini dinantikan, apakah negatif atau positif, paling tidak diatas 0 persen .”Kalau di triwuluan ketiga ini ada optimisme, pemerintah secara efektif dan efisien dalam membelanjakan anggaran yang cukup besar, bisa terhindar dari resesi ekonomi. Sehingga triwulan keempat ada pemulihan ekonomi dan awal 2021 lebih baik. Tapi kalau tidak sebaliknya,” demikian Fadhil Hasan. (akhir)