H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)
Tragis, sungguh tragis nasib Ridho. Penangkapan putra mahkota raja Dangdut Ridho Rhoma membuat hati Rhoma sangat teriris waktu itu. Sang ayah pasti nyaris tidak percaya jika buah hati yang menjadi kebanggaan, tidak hanya keluarga tetapi seluruh fans Rhoma, kini untuk kedua kalinya harus berurusan hukum lagi. Sebagaimana kita ketahui di minggu-minggu awal Februari ini ‘Si Ganteng’ Ridho Rhoma ditanggap polisi lagi dalam kasus yang sama. Rasa terima kasih Rhoma atas penangkapan sang anak kali ini, memang masuk akal. “Bayangkan kalau misalkan seminggu, sebulan, dua bulan baru ditangkap atau setahun. Barangkali sudah ketagihan,” kata Rhoma sebagaimana dikutip jpnn.com (8/2/2021).
Kejahatan yang selama ini tidak saja menjadi musuh Negara, tetapi juga sang ayah. Dalam setiap show hampir-hampir sang ayah tidak lupa mewanti-wanti kepada setiap penggemar dan masyarakat Indonesia untuk menjauhi narkoba. Lagu mirasantika seolah menjadi puncak kebencian Si Raja Dangdut kepada zat-zat adiktif yang sangat merusak kelangsungan generasi muda. Untuk yang satu ini bahkan beliau terbilang super tegas. Anggota Soneta siapapun orangnya akan dipaksa undur jika terbukti memakai barang haram ini. Beberapa personel Soneta telah menjadi ‘korban’ ketegasan Sang Raja. Sikap tegas sang Raja ini memang juga seiring dengan sikap Negara. Beberapa waktu yang lalu negara sangat gencar melakukan penagkapan para gembong narkoba. Beberapa di antara mereka malah ada yang sudah dikirim ke regu tembak. Ketegasan Negara tersebut mengandung pesan, bahwa gembong barang haram tersebut tidak berarti lagi sehingga harus disingkirkan dari alam dunia ini sebelum merusak lebih banyak lagi generasi.
Korban narkoba meliputi eksekutif, artis, anak sekolah tanpa memilih kaya atau miskin. Dengan kata lain, korban narkoba sudah tidak mengenal kelas sosial. Dalam konteks ini ketika pemerintah menetapkan kejahatan narkoba sebagai kejahatan luar biasa kita bisa maklum. Hukuman mati bagi para gembong tersebut dianggap hukuman pilihan terakhir sebagai hukuman yang paling setimpal.
Oleh karena itu, betapa pilunya hati Rhoma ketika buah hati yang selama ini dianggap sebagai putra yang ‘soleh’, tiba-tiba malah melanggar larangannya. Kita sebagai fans dapat merasakan kepedihan hati sang ayah itu. Tangis Rhoma tentu menjadi tangis kita sebagai penggemarnya.
Lantas, mengapa Ridho berani melakukan perbuatan senekat itu. Apakah dia tidak tahu, atau apakah dia sudah lupa visi dan misi sang ayah?. Di hadapan para penyidik dia secara apologis pernah mengatakan, bahwa keberaniannya mengkonsumsi narkoba karena beban kerja. Suatu alasan klise yang sering dikemukakan sebagian besar artis ketika tertangkap. Beban kerja para artis memang melebihi batas kebiasaan orang banyak. Kontrak demi kontrak yang mereka teken, menuntutnya harus fit setiap saat. Orang biasa boleh capek dan istirahat tetapi sang bintang tidak boleh. Sang bintang harus siap hadir kapanpun ketika penggemar memerlukannya. Pada saat seperti ini bagi sang idola sakit hukumnya haram. Bahkan, tidak sedikit kontrak yang mereka tanda tangani tidak hanya bersanksi perdata tetapi juga pidana. Bagi artis muda dengan manajer yang kurang wawasan pasti akan menjadi bulan-bulanan keartisannya.
Di sisi lain, ada juga yang tidak tahan menahan diri dari godaan popularitas. Khawatir akan diitinggalkan atau mengecewakan penggemar harus membebani diri dengan berkarya dan terus berkarya. Fisik yang kekuatannya terbatas dipaksa untuk menopang cipta dan karsa yang memang bisa bebas tanpa batas. Namun juga tidak jarang gaya hidup akibat pergaulan yang salah juga menjadi salah satu pemicu. Alah bisa karena biasa. Kebiasaan tersebut akhirnya mengubah cara padang terhadap ‘barang neraka’ itu menjadi ‘kenikmatan surga’ yang harus selalu diraih. Akibatnya, ketagihan pun menghinggap dalam diri.
Pada saat seperti itu, peran seorang yang arif sangat diperlukan. Arif tidak saja piawai mengurus jadwal-jadwal berkarya tetapi juga arif dalam melihat setiap gejala kejiwaan yang sedang dan akan menimpa sang bintang. Khusus untuk Ridho kehadiran sang ayah tentu sangat penting. Sejarah panjang Rhoma berjuang di blantika musik dangdut yang telah terbukti mengantarkan menjadi Maha Bintang tentu cukup untuk membekali sang anak agar selamat meniti karirnya. Ibarat sepak bola, Rhoma tidak hanya tahu secara teori sebagaimana komentator sepak bola tetapi Rhoma adalah komentatator sekaligus memang ahli bermain bola itu sendiri.
Tetapi tampaknya kesempatan sang ayah mendamingi sang anak kini semakin berkurang. Tetapi justru hal itu terjadi menjelang hari-hari senjanya. Bebarapa waktu lalu ketika Ridho ‘terperosok’ sang ayah tampak ‘asyik’ dengan euforia politik praktis. Sebenarnya, banyak yang menyayangkan pilihan Rhoma di panggung politik praktis. Rhoma tidak cukup muda untuk memulai berpolitik praktis. Salah satu alasannya, politik adalah identik dengan dukung mendukung. Rhoma dan partainya hanya berharap dukungan penuh dari para penggemar. Tetapi yang patut diingat, fans yang boleh dibilang fanatik saat ini adalah mereka yang kebanyakan berusia sekitar 50 tahun ke atas. Mereka ini menjadi fanatik karena pernah melihat langsung kejayaan Rhoma sebagai ‘maharaja’ dangdut. Anak-anak yang usia 25 tahunan sekalipun tahu Rhoma dan Sonetanya tidak pernah mengalami itu. Mereka hanya tahu dari membaca yang tentu berbeda kesannya jika pernah merasakan langsung menonton show-show Rhoma yang memang sangat spektakuler waktu itu. Dengan platform partai yang tidak jauh berbeda dengan partai yang ada, Rhoma juga dianggap tidak cukup mampu merebut hati masyarakat yang sudah kadung menjadi simpatisan partai-partai besar yang ada baik yang berbasis agama atau nasoinalis. Forsa sebagai fans terorganisasi memang besar dan solid tetapi jumlah mereka terlalu kecil untuk cacah pemilih secara nasional. Ketidaklolosan “Partai Idaman” pada kualifikasi partai peserta pemilu baru lalu mestinya menjadi bahan instrospeksi bagi sang Raja. Hal ini dimaksudkan agar kebesaran kerajaannya di bantika musik dangdut tidak berubah menjadi kecil karena masuk dalam wadah partai kecil yang membuat “Sang Gajah” terlihat hanya seperti gurem, seperti partai yang didirikannya.
Hak mendirikan partai dan kiprah politik memang bagian dari hak setiap warga negara termasuk Rhoma. Akan tetapi, urusan politik yang kini digeluti secara langsung, menyebabkan Rhoma tidak hanya terlihat letih tetapi juga menyebabkan beliau tidak mempunyai waktu yang cukup untuk membina karir seni Ridho dan para ’pensiunan’ Soneta serta keluarganya. Atau, mungkin beliau menganggap putranya sudah cukup dewasa untuk berjalan sendiri. Anggapan terakhir ini sudah barang tentu kurang tepat. Mengingat korban narkoba, sebagaimana disebutkan di atas, dapat melanda siapapun setiap saat, termasuk Ridho.
Dana yang tidak sedikit untuk kelangsungan karir politik yang belum tentu hasilnya lebih baik digunakan mempertahankan hegemoninya di blantika musik yang telah membuatnya besar. Anggota Soneta dan keluarga mereka yang kini satu demi satu uzdur perlu menjadi perhatian Rhoma mengingat selama ini mereka hanya hidup dari Soneta dan Soneta menjadi besar adalah juga andil mereka. Selanjutnya, melalui Ridho popularitas Rhoma bisa berlangsung dan untuk itu harus dijaga oleh seluruh keluarga besar Soneta. Kalau tidak, dengan kasus yang menimpa bisa-bisa nama Ridho yang disandangkan bang Haji untuk sang putra tidak sesuai lagi dan berubah dari “Ridho Roma Irama” menjadi “Ridho Yang Tak Diridhoi”.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk bersinis ria terhadap “Sang Pujaan”, tetapi sekedar menyampaikan simpati yang mendalam sekaligus sebagai urun rembug kepada keluarga besar Soneta dan Forsa. Sebab, duka keluarga besar Soneta dan Forsanya adalah duka kita juga. Yang perlu menjadi perhatian kita, narkoba, selain bisa menimpa siapa saja, penangkapan dan pemenjaraan, tampaknya bukan solusi yang ampuh bagi para penggunanya.‘Alallahi tawakkalna wailaihi anabna’.
BIODATA PENULIS