Jakarta, beritalima.com| – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka mengatakan pentingnya pembenahan serius terhadap sistem dan data penerima manfaat BPJS Kesehatan, karena adai potensi kerugian negara mencapai Rp126 triliun per tahun akibat data fiktif peserta penerima bantuan iuran (PBI).
Dalam forum diskusi yang juga dihadiri Anggota Komisi IX DPR RI Edi Wuryanto dan perwakilan BPJS Kesehatan, Rieke menilai akar persoalan terletak pada lemahnya verifikasi dan validasi data peserta. “Negara harus memastikan data penerima benar-benar akurat. Kalau datanya salah, uang rakyat berantakan, dan hak rakyat yang seharusnya dijamin justru diselewengkan,” ucap Rieke (6/11).
Politisi yang dikenal vokal itu mengingatkan, amanat konstitusi menekankan hak jaminan sosial sebagai hak dasar seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana termuat dalam hasil amandemen UUD 1945. Ia apresiasi komitmen Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya penguatan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) agar tidak sekadar menjadi formalitas birokratis.
“Saya kira Presiden Prabowo punya sikap tegas terhadap penguatan jaminan sosial rakyat. Tapi kebijakan ini tak akan berjalan tanpa perbaikan metodologi dan regulasi yang benar,” pujinya. Rieke mengingatkan, sejak awal lahirnya UU BPJS – sebagai turunan dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) – semangat yang dibangun bukanlah untuk mencari keuntungan, melainkan memberi perlindungan bagi rakyat pekerja.
“BPJS itu bukan PT yang berorientasi profit, tapi badan penyelenggara dengan prinsip amanah sosial. Dana yang dikelola seharusnya kembali sebesar-besarnya untuk manfaat peserta,” terangnya. Dalam paparannya, Rieke menyinggung sejarah panjang perjuangan pembentukan BPJS, termasuk peran penting media dan masyarakat sipil dalam mendorong lahirnya regulasi tersebut.
“Kalau waktu itu tidak ada media, saya kira undang-undang BPJS tidak akan pernah lahir. Jurnalis bukan sekadar ‘kuli tinta’, tapi pewarta pejuang yang ikut memperjuangkan hak sosial rakyat,” kisahnya.
Jadi, Rieke menilai perlunya perlindungan sosial bagi pekerja di sektor digital dan media, seiring transformasi besar di dunia kerja. “Banyak pekerja media yang dulu di cetak, kini beralih ke digital. Lalu bagaimana model proteksi sosialnya? Ini harus jadi perhatian bersama, termasuk hubungan kerja antara perusahaan media dan para pewartanya,” tuturnya.
Ia mengungkapkan, pemerintah telah mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp400 miliar untuk BPJS pada 2025, dan Rp6 triliun di 2026. Namun ia mengingatkan agar penggunaan dana tersebut tidak hanya bersifat administratif, melainkan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
“Saya minta Komisi IX ikut mengawal. Jangan sampai saya yang dimarahi karena dianggap urus yang bukan bidang saya. Tapi kalau ini menyangkut hak rakyat dan uang negara, saya akan bersuara,” bahasnya.
Diharapkan agar revisi UU Statistik, tambah Rieke, tak dilakukan terburu-buru tanpa mempertimbangkan implikasi terhadap transparansi dan akurasi data sosial. “Jangan sampai negara bermain-main dengan data rakyat. Sekali salah data, salah juga kebijakan, dan akhirnya rakyat yang menanggung akibatnya,” ungkapnya.
Jurnalis: rendy/abri








