_Tanah Kas Desa Sebelum Jadi Kelurahan
Banyak yang Beralih Jadi Milik Swasta._
Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)
TANAH ganjaran, adalah istilah yang hanya dikenal masyarakat Kota Surabaya. Kalau di daerah lain namanya juga tidak sama. Berbeda-beda. Ada yang menyebut tanah ‘bengkok’, tanah ‘percaton’, tanah ‘titisoro’, tanah ‘pangonan’, tanah ‘singkeran’, tanah ‘guron’, tanah ‘nagari’, tanah ‘cawisan’ dan masih banyak istilah di masing-masing desa di suatu daerah di seluruh Nusantara. Namun, artinya sama, yakni: tanah yang dikuasai desa sebagai kekayaan desa. Dan semua itu dipopularkan dengan sebutan “tanah kas desa”
Sehubungan banyak warga dan mahasiswa menjadikan saya sebagai narasumber, maka saya perlu mengungkap sedikit riwayat “Tanah Ganjaran” di Kota Surabaya. Sehingga generasi Zet dan generasi yang akan datang, tahu riwayat dan sejarah tempo dulu. Bagaimana “nasib” aset milik sah dari warga Kota di Surabaya masa lalu itu.
Setelah perubahan bentuk pemerintahan, dari Desa menjadi Kelurahan aset atau kekayaan warga itu “beralih” tanpa ganti rugi. Justru secara otomatis menjadi “milik” Pemerintah Kota Surabaya. Dan lebih tragis lagi, Kepala Desa “pilihan rakyat atau warga desa” — yang keduduksnnya adalah warga biasa — diganti oleh pejabat berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) dengan jabatan resmi “Lurah” atau Kepala Kelurahan.
Bagi masyarakat Jawa Timur, lebih dikenal dengan tanah ‘bengkok’. Dengan tanah kas desa inilah desa-desa secara otonomi membiayai keperluan desa, khususnya untuk kepentingan kepala desa beserta perangkat desa. Maka tidaklah mengherankan, kalau ada desa yang makmur dan kepala desanya kaya, karena mempunyai tanah ‘bengkok’ atau tanah ‘ganjaran’yang luas. Bagi kota Surabaya, cerita tentang “tanah kas desa” atau tanah ‘ganjaran’ adalah cerita masa lalu.
Berdasarkan Undang-undang No.5 tahun 1979, tentang pemerintahan di daerah, status desa-desa di dalam kota berubah menjadi kelurahan. Saat itu di Surabaya ada dua sebutan sebelum menjadi kelurahan. Pemerintahan terendah yang berada di tengah kota disebut lingkungan dan yang berada di daerah pinggiran masih disebut desa.
Menindaklanjuti UU No.5/1979 itu, Mendagri mengeluarkan Keputusan No.140-502 tahun 1979. Isinya, menetapkan desa-desa di dalam kota diubah satusnya menjadi kelurahan. Kota Surabaya dulu dibagi menjadi 38 lingkungan dan 103 desa. Dalam peleburan menjadi kelurahan, 38 lingkungan diubah menjadi 60 kelurahan dan 103 desa menjadi 103 kelurahan, sehingga total di Kota Surabaya ada 163 kelurahan.
Perubahan lingkungan menjadi kelurahan tidak banyak membawa pengaruh, tetapi bagi desa pengaruhnya luar biasa. Bahkan, di antara kepala desa ada yang menyampaikan protes dan menyatakan keberatan. Namun, akhirnya terpaksa tunduk kepada aturan hukum yang berlaku. Salah satu keberatan para kepala desa itu adalah “melepaskan” tanah ‘ganjaran’ yang dikuasasinya selama ini.
Desa yang jumlahnya 103 di kota Surabaya memiliki dan punya tanah ‘ganjaran’ yang cukup luas. Ada desa yang punya 10 hektar dan ada yang hanya memiliki 2 hektar. Jumlah total tanah ganjaran saat peralihan status desa menjadi kelurahan di Kota Surabaya, luas tanah ‘ganjaran” itu tidak kurang dari 1.000 hektar.
Tanpa Ganti Rugi
Perubahan status desa menjadi kelurahan, mengakibatkan aset desa berupa tanah ‘ganjaran’ akhirnya “diambilalih” menjadi aset Pemerintah Kota Surabaya, tanpa ganti rugi. Kepala desa yang sebelumnya adalah orang swasta yang dipilih langsung oleh rakyat di desa itu, dialihkan kepada pejabat Kantor Pemkot Surabaya. Di antaranya ada kepala desa yang berubah statusnya menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Dia diangkat menjadi pegawai Pemkot Surabaya. Mereka ini tidak mempunyai kewenangan lagi mengolah tanah ‘ganjaran’ , apalagi menikmati hasilnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.1 tahun 1982, semua desa-desa yang berubah menjadi kelurahan, seluruh kekayaan desa, terutama tanah kas desa, atau tanah ‘ganjaran’ di Kota Surabaya, juga beralih menjadi aset kelurahan. Nah, karena kelurahan itu adalah lembaga Pemerintah Kota, dengan demikian aset itu menjadi aset Pemerintah Kota. Kalau dulu desa merupakan daerah otonom, sekarang kelurahan hanya wilayah administratif.
Dalam Keputusan Mendagri No.164 tahun 1997 lebih tegas lagi, disebutkan tanah kas desa yang berasal dari bengkok, tanah ganjaran dan sejenisnyta, tidak lagi menjadi aset atau kekayaan pemerintahan kelurahan, tetapi menjadi aset Pemerintah Daerah. Keputusan ini dipertegas lagi dengan surat Dirjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) Depdagri No.593/2023/PUOD tangggal 14 Juli 1999. Gubernur Jawa Timur, juga menindaklanjuti dengan suratnya No.143/8272/013/1999 tanggal 27 Juli 1999.
Jadi Banca’an
Setelah tanah ‘ganjaran’ menjadi aset Pemkot Surabaya, mulai muncul masalah. Permasalahan yang paling menonjol adalah saat akan dialihkannya atau dilepasnya tanah ‘ganjaran’ itu ke pihak lain. Kalau sebelumnya tidak ada tanah ‘ganjaran’ yang dijual atau dialihkan ke pihak lain, maka setelah menjadi aset Pemkot Surabaya, bekas tanah’ganjaran’ ini menjadi “banca-an” pejabat (maaf: dikorupsi secara berjamaah)
Ada aturan, bahwa Pemerintah Kota (dulu disebut Pemerintah Daerah), dalam pengurusan pendapatan desa yang menjadi kelurahan, tidak harus mengembalikan seluruh pendapatan suatu kelurahan ke kelurahan tersebut. Namun kalau dipandang perlu sebagian dapat diserahkan kepada kelurahan yang lain. Di sini ditegaskan, tanah bekas ‘ganjaran’ atau disebut bekas tanah kas desa bukan milik warga. Kendati demikian untuk pelepasan tanah tersebut ke pihak lain harus melalui rembug kelurahan, bukan rembug warga.
Dari Mendagri, Dirjen PUOD dan Gubernur Jatim dalam suratnya menegaskan, apabila terjadi pelepasan atau tukar-menukar terhadap aset tanah bekas tanah kas desa (di Surabaya bekas tanah ‘ganjaran’), harus mendapat persetujuan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Kerawanan sering mencuat ke permukaan, mulai dari terjadi ketidaksetujuan warga bekas desa yang menjadi kelurahan atas tanah ‘ganjaran’ yang akan dialihkan kepada pihak lain. Biasanya, warga di kelurahan mempertahankan, atau minta konpensasi. Tidak jarang pula di awal era reformasi lalu, aksi menentang pengalihan atau tukar-guling tanah bekas ‘ganjaran’ itu, warga melakukan demo ke Balaikota Surabaya.
Walaupun sudah ada aturan yang baku tentang tatacara pelepasan dan tukar-menukar bekas tanah ‘ganjaran’ itu, masih saja terjadi berbagai masalah. Menurut aturan yang ditetapkan, sebelum tanah ‘ganjaran’ dialihkan, harus diproses lebih dulu oleh tim yang bekerja berdasarkan SK Walikota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur. Selanjutnya hasil tim kerja tim tersebut dituangkan dalam berita acara, serta dilengkapi dengan surat rekomendasi dari Kepala Kantor Pertanahan Nasional (KPN), serta kepala Dinas Pertanian tentang tingkat kesuburan tanah. Baru kemudian, mendapat izin dari gubernur.
Biasanya pengalihan bekas tanah ‘ganjaran’ ini berkaitan dengan pembangunan perumahan, perkantoran atau kegiatan bisnis lainnya. Untuk itulah, masalah konpensasi selalu menjadi masalah, sebab Pemerintah Kelurahan menuntut ‘bagian’. Bagi Pemkot Surabaya, tidak begitu saja memberikan konpensasi ke kelurahan bekas pemilik tanah’ganjaran’ itu, sebab keuangan hasil pengalihan tanah itu dimasukkan lebih dulu ke dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kota Surabaya.
Sebagai aset, bekas tanah ‘ganjaran’ ini memang menggiurkan. Tidak sedikit pengembang dan pengusaha kawasan permukiman, maupun perkantoran mengincar tanah ini. Di samping harganya lebih murah dibandingkan tanah yang sudah ada, juga pengusaha menilai prosedurnya lebih gampang.
Berdasarkan catatan penulis, luas bekas tanah ‘ganjaran’ yang ada saat ini tinggal 131,16 hektar. Luas tanah ini setelah bertambah 29,968 hektar dari hasil tukar guling atau ruilslag. Sudah banyak bekas tanah ‘ganjaran’ ini yang dialihkan atau dipergunakan untuk berbagai kepentingan. Termasuk untuk membangun beberapa kantor, sekolah dan Masjid Al Akbar Surabaya. Bahkan lahan yang disediakan untuk pembangunan stadion Olahraga yang semula direncanakan untuk PON XV/2000 lalu di Kecamatan Pakal juga sebagai tukar-menukar tanah ‘ganjaran’. Kendati demikian, angka tentang luas bekas tanah ‘ganjaran’ ini sering tidak sama antara satu instansi dengan instansi lainnya.
*) Yousri Nur Raja Agam MH — Wartawan Senior — Ketua Yayasan Peduli Surabaya.