JAKARTA, Beritalima.com– Pengucuran dana desa yang dilakukan pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan keinginan dan kebijakan pemerintahan yang berkuasa saat ini tetapi merupakan amanat dari UU tentang Desa.
UU tentang Desa tersebut disahkan pada tahun ketiga periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan, tanpa adanya UU tentang Desa, tidak mungkin Jokowi bisa mengucurkan dana sebanyak itu untuk Desa.
“Jadi, dana yang dialokasikan Rp1 miliar per desa adalah amanat UU tentang Desa yang digagas SBY setelah mendengarkan aspirasi asosiasi kepala desa terutama parade nusantara,” tegas ekonom senior Rizal Ramli kepada awak media, kemarin.
Undang-undang desa tersebut, kata Rizal, diperjuangkan asosiasi kepala desa yang dipimpin Sudir Santoso. Sedangkan Rizal Ramli adalah Ketua Dewan Pembina asosiasi itu.
“Kemudian pembahasan UU itu banyak dibantu Marwan Jafar yang saat itu dipercaya sebagai Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Ahmad Muqowam dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta Marzuki Alie selaku Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat,” ungkap dia.
Mantan Menko Kemaritiman Pemerintahan Jokowi ini menilai tahun pemerintahan Jokowi, tebaran optisme matan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini makin lama semakin memudar. Bahkan dalam banyak hal harapan akan kehidupan yang lebih baik makin memudar.
Dikatakan, ekonomi stagnan lima persen, daya beli masyarakat merosot, pengurangan angka kemiskinan terendah sejak reformasi. Jokowi hanya mengurangi 450 orang miskin per tahun.
“Bandingkan dengan era Gus Dur yang berhasil menurunkan kemiskinan 5,05 juta orang pertahun, Habibie 1,5 juta, Mega 570 orangdan SBY 840 orang per tahun,” ungkap Rizal Ramli.
Rendahnya penurunan kemiskinan pada masa pemerintahan Jokowi dinilai ekonom ini karena garis ekonomi yang meninggalkan Trisakti seperti yang dijanjikan, terutama karena kebijakan impor yang ugal-ugalan dan penghapusan subsidi listrik 450 VA dan 900 VA.
“Ini sangat memukul daya beli golongan menengah bawah dan di tambah pula risiko makro ekonomi Indonesia semakin meningkat selama 2 tahun terakhir. Boro-boro kedaulatan pangan tercapai, yang terjadi justru impor ugal-ugalan yang sangat merugikan petani,” tegas Rizal Ramli.
Begitu juga di bidang kedaulatan keuangan. Boro-boro kedaulatan keuangan tercapai, justru utang yang semakin besar dengan yield yang merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik.
Risiko makro ekonomi Indonesia meningkat 2 tahun terakhir dalam bentuk defisit neraca perdagangan (-8,57 USD tahun 2018) dan defisit transaksi berjalan (-9,1 milyar dolar AS pada quartel 4 2018). Ini defisit neraca transaksi berjalan yang paling parah atau terbukti sejak 4,5 tahun terakhir.
Kegagalan Jokowimencapai kedaulatan pangan dan keuangan terjadi karena tidak ada konsistensi antara tujuan strategi kebijakan dan personalia. Tujuan untuk mencapai swasembada pangan dikhianati dengan kebijakan impor ugal-ugalan dan penunjukan pejabat yang doyan rente.
“Demikian juga dalam hal tujuan kemandirian keuangan, dikhianati dengan kebijakan pinjaman luar negeri yang jorjoran dan menunjukkan pejabat keuangan yang doyan memberikan yieid import beli tertinggi yaitu 2-3 persen diatas negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia seperti Filipina dan Vietnam,” demikian Rizal Ramli. (akhir)