JAKARTA, beritalima.com- Roehana Koeddoes jurnalis perempuan pertama Indonesia, bergerak tanpa batas melampaui jamannya. Sungguh layak dan sepantasnya Roehana termasuk mendapat penganugerahan gelar pahlawan tertuang dalam Keputusan Presiden RI nomor 120 TK Tahun 2019 tanggal 7 November 2019 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Kementerian Sosial RI nomor 555/3/PB/.05.01/11/2019 tanggal 7 November 2019 dengan persetujuan Presiden RI.
Banyak dari kita yang kurang mengenal sosok beliau padahal begitu sangat besar kontribusinya untuk memajukan perempuan Minangkabau maupun perempuan Indonesia. Bahkan kisah beliau dan buku terkait perjuangan dan kiprah Roehana sangat sedikit terdapat di toko-toko buku. Para peneliti asing berdatangan ke kota kelahiran Roehana untuk melihat dari dekat kota kelahiran dan kiprah awal perjuangannya.
Roehana Koeddoes terlahir di kota Gadang kabupaten Agam, Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1884 ibunya bernama Kiam, sedangkan ayahnya adalah Mohammad Rasjad Maharadja Soetan yang bekerja sebagai ambtenaar.
Roehana mempunyai adik tiri bernama Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama juga merupakan salah satu founding fathers Indonesia.
Penyair besar Chairil Anwar juga adalah kemenakannya.
Roehana Koedoes juga sepupu H. Agoes Salim yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia yang pertama dan Menteri Luar Negeri dalam kabinet Sjahrir dan Hatta (1947-1949). Agoes Salim adalah salah satu tokoh pelopor Home Schooling Indonesia.
Roehana Koedoes memulai perjuangannya sedari usia remaja dengan kegemarannya membaca buku-buku literatur dengan bahasa Belanda dan lainnya terbukalah mata hatinya untuk memperjuangkan kaumnya dan masyarakat di sekitarnya.
Sebenarnya darah penulis diwarisi Roehana dari sang ayah yang juga merupakan seorang jurnalis dan bahkan dalam keluarganya mengalir deras darah penulis dan penyair.
Sepupunya yaitu KH. Agoes Salim sangat peduli pada pembentukan watak dan karakter yang menurutnya tidak didapat dari sekolah formal. Roehana memiliki hubungan persaudaraan dengan beberapa nama besar yang senantiasa tertoreh dalam sejarah politik dan sastra Indonesia. Dari lingkungan religius dan cendekia seperti inilah Roehana dilahirkan.
Ayah Roehana seorang jurnalis yang keluarganya juga dekat dengan Jaksa Alahan Panjang. Berangkat dari situlah Roehana kecil setidaknya mengenyam pendidikan agama, di saat masa-masa kala itu para perempuan Minang dilarang bersekolah, wajib dipingit dan hanya “dididik” untuk urusan dapur dan kasur kelak.
Roehana kecil juga disebut-sebut sangat hobi membaca surat kabar bahkan sang ayah sengaja berlangganan koran khuhsus untuk anak gadisnya.
Roehana pernah diboyong pindah oleh sang ayah ke Pasaman, wawasan ia pun semakin bertambah berkat rajin membaca surat kabar hingga mulai berani mengeluarkan aspirasi dengan suara lantang bahwa perempuan harus dididik dan bersekolah.
Maka dari ia sering mengajar teman-temannya baik itu laki-laki maupun perempuan di teras rumah. Setelah remaja, Roehana memilih hidup mandiri dan tak turut ayah dan ibu tirinya (Rabiah, istri kedua M Sutan yang juga ibu kandung Sutan Sjahrir) pindah ke Kota Medan.
Di usia 24 tahun Roehana dipersunting seorang notaris bernama Abdul Koeddoes. Beruntung ia mendapatkan seorang suami yang tidak mengekang usahanya untuk memperjuangankan perempuan.
Di usia menginjak 27 tahun, perjuangan Roehana mengangkat derajat perempuan terbantu Ratna Puti, seorang istri dari Jaksa Kayutanam.
Di tahun 1911 itu, lewat sokongan Ratna Puti, Roehana mendirikan Kerajinan Amai Setia (KAS). Sebuah wadah untuk para perempuan diajarkan calistung alias membaca, menulis dan berhitung, hingga keterampilan lain macam menjahit dan menyulam.
Di samping itu, Roehana tak meninggalkan kegemarannya menulis puisi dan artikel. Sampai pada Juli 1912, Roehana “melahirkan” surat kabar perempuan pertama di Indonesia, ‘Sunting Melayu’. Surat kabar di mana pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya semuanya perempuan.
Pindah ke Bukittinggi pasca-problem pelik yang membawanya ke meja hijau pada 1916, Roehana membuka “Roehana School”. Sekolah yang didirikannya sendiri tanpa sponsor dari manapun dengan model yang sama seperti KAS.
Di sepanjang hidupnya, Roehana terus mengajar sekaligus melanjutkan profesinya sebagai jurnalis perempuan dengan memimpin koran ‘Perempuan Bergerak’, menjadi redaktur koran ‘Radio’ dan koran ‘Cahaya Sumatera’.
Roehana mengembuskan nafas terakhir pada 17 Agustus 1972 pada usia 88 tahun di Jakarta. Namanya jarang dikenal perempuan Indonesia, baik masyarakat awam maupun tokoh perempuan Indonesia zaman sekarang. Namanya juga tak seharum Kartini yang diangkat Pahlawan Nasional oleh Presiden Ir Soekarno pada 1964.
Nama Roehana sekadar dikenal segelintir masyarakat negeri kita, khususnya di dunia insan pers, meski setidaknya diakui pemerintah daerah lewat tanda jasa dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Emansipasi perempuan menurutnya, kaum hawa tidaklah harus melampaui laki-laki. Baginya, yang terpenting adalah perempuan tetap pada kodratnya, namun mesti berpendidikan dan mendapat perlakuan yang lebih baik.
“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”
Timbul perntanyaan di benak di manakah makam Roehana Koeddoes sementara Pahlawan Wanita Hajah Rasuna Said yang berasal dari Minangkabau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Lily/Dari Berrbagai Sumber).