SURABAYA, beritalima.com|
Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan video seorang ayah yang memukuli anaknya. Pemukulan itu disebabkan oleh sang anak yang enggan berhenti memainkan gadget.
Diduga, sang anak tengah asyik memainkan gim role-playing, sebuah gim memainkan peran karakter atau kepribadian orang lain di media sosial. Kejadian ini kemudian membuat heboh kalangan warganet.
Menanggapi hal tersebut, Psikolog Fakultas Psikologi (Fpsi) Universitas Airlangga (Unair) Dr Dewi Retno Suminar MSi mengatakan bahwa role-playing sangat tidak dianjurkan bagi anak-anak. Pasalnya, dalam permainan ini, anak secara bebas memainkan peran dirinya sebagai publik figur dan sosok lain.
“Karena itu, peran orang tua di sini menjadi penting dalam mengawasi dan mengontrol aktivitas online anak-anak mereka,” ucap Dewi.
Dewi menjelaskan bahwa dalam psikologi perkembangan, terdapat fase anak bermain dengan imajinasinya. Ia menyoroti bagaimana pengaruh role-playing terhadap tumbuh kembang anak di bawah umur.
Sebenarnya, imajinasi anak dalam memainkan peran tokoh lain adalah hal yang biasa. Misalnya saja anak memainkan peran sebagai seorang dokter, polisi, pilot, guru, hingga astronot.
Hal itu menjadi lumrah karena anak akan berimajinasi sesuai dengan aktivitas yang ada, nyata, bersama teman-temannya dan dalam jangkauan pengawasan orang tua.
Akan tetapi, lain halnya dengan role-playing yang digandrungi anak-anak saat ini. Lantaran, mereka memainkan gim tersebut di media sosial.
Selain itu, mereka biasanya akan memainkan peran seorang tokoh idola, sehingga dikhawatirkan hal ini akan membawa dampak negatif berupa fantasi dan imajinasi berlebih pada anak.
“Bahayanya saat bermain roleplay ini mereka memainkan peran diri sebagai “idola” yang juga berinteraksi dengan orang lain secara luas melalui platform digital,” ungkap Dewi.
Berpotensi Menimbulkan Adiksi
Lebih lanjut, Dewi mengingatkan bahwa terdapat dampak berbahaya yang mungkin muncul ketika anak bermain role-playing di media sosial. Dampak serius yang akan terjadi misalnya adalah munculnya adiksi gadget pada anak.
“Dampak yang mungkin adalah adanya perasaan cemas apabila anak tidak memegang gawai dan menimbulkan ketergantungan,” tutur Dewi.
Selain itu, anak juga akan berpotensi kehilangan jati diri aslinya, karena selama ini imajinasi dan pikirannya berfokus pada idola yang sedang dimainkan dalam role-playing. Hal tersebut akan menyebabkan perubahan pemikiran anak, di mana anak akan berpikir dewasa sebelum waktunya.
“Tanda adiksi muncul ketika anak tidak bisa menahan untuk tidak melakukannya (bermain roleplay, red). Ini yang sebenarnya harus diperhatikan, karena jika hal tersebut di luar kontrol orang tua,” paparnya.
Digital Parenting
Selanjutnya, Dewi menambahkan bahwa permainan role-playing di media sosial bisa memberikan pengaruh negatif pada anak-anak jika tidak diawasi dengan baik.
Pasalnya, aktivitas seperti ini cenderung memakan waktu yang cukup banyak, mengganggu keseimbangan antara waktu bermain secara online dan offline, dan juga dapat memengaruhi perkembangan sosial dan emosional anak-anak.
Oleh karena itu, Dewi mengajak orang tua untuk memahami digital parenting sebagai alat bantu untuk membatasi dan memanfaatkan digital untuk mengawasi anak. Orang tua harus bisa mengambil peran kontrol pada konten digital yang dikonsumsi anak.
Dewi menyarankan agar orang tua untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan online anak-anak mereka.
“Orang tua di era sekarang harus tahu bagaimana untuk membalasnya, bukan hanya langsung merebut gadget. Perlu pendekatan dan mengobrol lebih dalam dengan anak terkait hal yang dilakukan anak,” pungkas Dewi. (Yul)