RRI Bengkulu Diskusi HAM, Kawal Disabilitas Berbasis Kesetaraan

  • Whatsapp
RRI Bengkulu diskusi HAM, Kawal disabilitas berbasis kesetaraan (foto: KAI)

Bengkulu, beritalima.com| – Sambut Hari Hak Asasi Manusia (HAM) setiap 10 Desember, RRI Bengkulu gelar diskusi bertajuk “Perspektif Disabilitas Berbasis HAM”, disiarkan langsung melalui RRI Pro 1 Bengkulu 92,5 FM dan kanal YouTube RRI Net Bengkulu (13/12), sebagai upaya mengawal masyarakat disabilitas menuju kesetaraan.

Dua narasumber dalam diskusi, Ilona Hazli Sekretaris Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) DPD Bengkulu, serta Irma Lisa Sridanty Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Mitra Masyarakat Inklusif (PMMI). Keduanya menyoroti pentingnya mengubah cara pandang masyarakat terhadap difabel, dari sekadar objek menjadi subjek penuh dalam kehidupan sosial.

Selama ini, difabel masih sering dipandang sebagai beban atau objek belas kasihan. Padahal, prinsip kesetaraan telah ditegaskan secara global melalui Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dan sudah diratifikasi ke dalam hukum nasional.

Sebagai seorang jurnalis difabel netra, saya merasakan langsung bagaimana stigma dan keterbatasan akses membuat ruang hidup semakin sempit. Pertanyaan yang muncul: apakah kebijakan kita sudah benar-benar menempatkan difabel sebagai warga negara yang setara? Apakah sistem informasi, pendidikan, dan layanan publik sudah inklusif?

Irma Lisa menegaskan pengakuan terhadap difabel bukan sekadar belas kasihan, melainkan pemenuhan hak yang melekat. Namun kenyataannya, masih banyak fasilitas publik yang belum aksesibel. Difabel tuli, misalnya, masih kesulitan berkomunikasi di layanan kesehatan.

Ilona Hazli menambahkan, kompetensi difabel sering diabaikan. Meski ada UU tentang Hak Disabilitas, stigma negatif masih melekat, bahkan dari keluarga sendiri. Persyaratan ketenagakerjaan yang kaku—pendidikan formal dan batasan usia—tidak mempertimbangkan realitas akses pendidikan bagi difabel, sehingga peluang kerja semakin sempit.

Beberapa solusi yang ditawarkan antara lain, perubahan cara pandang masyarakat melalui kegiatan yang melibatkan difabel secara aktif; perbaikan infrastruktur dan sistem informasi agar ramah difabel; evaluasi kebijakan secara berkelanjutan untuk memastikan UU Disabilitas benar-benar diimplementasikan; serta pemberdayaan difabel dengan meningkatkan kompetensi, keberanian bersuara, dan kepercayaan diri.

Irma mengingatkan, kondisi difabel bukan sesuatu yang jauh dari kita. “Mungkin saat ini kita tidak menggunakan tongkat, karena masih sehat. Tapi suatu saat nanti kita akan merasakan bagaimana menggunakannya,” ujarnya.

Pernyataan ini menyentuh: difabel bukan kelompok terpisah, melainkan bagian dari perjalanan hidup manusia. Kesadaran ini seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah dan masyarakat untuk membangun sistem yang inklusif.

Diskusi di RRI Bengkulu ini bukan sekadar peringatan Hari HAM, melainkan momentum untuk mengubah stigma menjadi gerakan. Difabel harus diakui sebagai subjek penuh, dengan hak dan kewajiban yang setara.

Air mata perjuangan difabel bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Dari kesadaran, lahir keberanian. Dari keberanian, lahir perubahan. Dan dari perubahan, lahir masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Jurnalis: abdul hadi (difabel netra) dan abri

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait