Ruang Publik Makin Terdistorsi, Pengamat: Buzzer Politik Ciptakan Pendapat Umum Palsu

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Buzzer yang marak belakangan ini terutama sejak enam tahun terakhir dalam kancah politik Indonesia dinilai, sangat banyak mempengaruhi opini masyarakat dan menyudutkan lawan politik.

Pesan-pesan para buzzer tersebut, jelas pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Minggu (31/1), membuat ruang publik semakin terdistorsi.

Semakin kerapnya penghinaan dan rasis di media sosial, lanjut Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fikom IISIP) Jakarta 1996-1999 tersebut dinilai banyak pihak muncul dari para buzzer.
Mereka dinilai sengaja mengemas pesan untuk mengaburkan batas antara aspirasi publik yang sesunguhnya dengan aspirasi ciptaan para buzzer itu.

Akibatnya, lanjut laki-laki yang akrab disapa Jamil tersebut, aspirasi dan kritik publik yang sesunguhnya tidak sampai dengan utuh kepada tujuan terutama Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam jangka panjang, hal itu dapat memudarkan sensitivitas Pemerintah yang berkuasa terhadap kritik dan masukan publik.

Akibat lainnya, ungkap Jamil, aspirasi yang sampai ke pemerintah adalah hasil giringan para buzzer politik yang sengaja diviralkan melalui group aplikasi dan akun bot secara masif hingga menjadi trending topik. Aspirasi yang jadi trending topik inilah yang kemudian menjelma menjadi pendapat umum palsu.

Celakanya, lanjut penulis buku ‘Perang Bush Memburu Osama’ Pemerintah yang tidak sensitif menggunakan pendapat umum palsu itu sebagai dasar pengambilan kebijakan. Akibatnya, kebijakan yang diambil Pemerintah tak mengatasi persoalan yang sesungguhnya. Hal ini kemudian membuat masyarakat makin kecewa kepada pemerintah yang dinilai sudah tidak pro rakyat.

Semua itu terjadi karena para buzzer politik kebanyakan dibayar. Dalam melakukan aksinya, mereka biasanya tergabung dalam banyak kelompok aplikasi pesan, yang setiap kelompok terdapat lebih dari ratusan anggota. Mereka didukung pihak yang memproduksi konten, yang kemudian memviralkan sebuah pesan dengan cepat.

Dikatakan, para buzzer tersebut siap menyudutkan lawan politik dan siapa saja yang tak sejalan dengan majikan yang membayar mereka. Pengeritik diserang habis-habisan hingga substansi kritiknya tenggelam.

Padahal, lanjut Jamil, kritik para oposisi di Indonesia sangat diperlakukan Pemerintah agar tetap berjalan pada rel yang sudah ditentukan Undang-undang. Para pengkritik ini dikalahkan bukan karena argumentasi yang lemah, tapi karena diserang dari berbagai sudut oleh para buzzer.

Karena itu, kehadiran buzzer politik ini tidak membuat demokrasi semakin baik. Justeru demokrasi dilemahkan dengan mendistorsi pendapat umum. Akibatnya, demokrasi menjadi tidak produktif. Para buzzer politik tentu punya majikan. Mereka dipelihara untuk melindungi dan mengamankan majikannya.

Walau harus diakui, tidak semua buzzer politik dibayar. Ada buzzer yang secara sukarela melindungi dan mengamankan aktor politik yang menjadi idolanya. Namun, kerja mereka ini tidak semasif buzzer politik bayaran.

Kalau buzzer politik ini menciptakan pendapat umum palsu, tentu aparat hukuh sudah mestinya dapat bertindak. Sebab, mereka sudah menggiring opini masyarakat yang sesungguhnya menjadi palsu.

“Sebagai negara hukum, aparat penegak hukum seharusnya tidak tebang pilih untuk menindaknya. Siapa pun dibelakang mereka, seharusnya tidak ada yang kebal hukum di Indonesia,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)

 

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait