Rugikan Partai Kecil, LaNyalla Sampaikan Implikasi PT Dalam FGD di UMY

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengupas dampak dari ambang batas (Presidential Threshold/PT) yang merupakan amanat dari UU No: 7/2017 tentang Pemilu. UU Pemilu itu buah dari amandemen UUD 1945 terdahulu.

Menurut senator dari Dapil Provinsi Jawa Timur itu, amandemen konstitusi dari 1999 hingga 2002 menjadi dasar lahirnya UU yang menjadikan wajah Indonesia seperti hari ini. Itu disampaikan LaNyalla saat menjadi keynote speaker (pembicara kunci) Focus Group Discussion (FGD) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bantul dengan tema ‘Presidential Threshold: Antara Manfaat dan Mudarat’, Sabtu (5/6).

Turut mendampingi LaNyalla dalam kesempatan itu Ketua antara lain Fachrul Razi (Ketua Komite I), Sylviana Murni (Ketua Komite III) Bustami Zainuddin (Wakil Ketua II), Evi Apita Maya (Wakil Ketua Komite III), Bambang Sutrisno (Jawa Tengah), Bambang Santoso (Bali) dan M Afnan Hadikusumo (Yogyakarta).

Senator asal Jawa Timur itu mengajak seluruh masyarakat menjawab dengan hati nurani, apakah saat ini arah perjalanan bangsa Indonesia semakin menuju kepada apa yang dicita-cita founding fathers bangsa ini atau semakin menjauh?

“Karena itulah, kenapa saya menggulirkan wacana Amandemen kelima sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan Bangsa sehingga kita harus mendorong MPR RI bersidang dengan agenda amandemen, tetapi dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi dan perbaikan atas amandemen yang telah dilakukan sebelumnya.”

Dikatakan, setidaknya ada empat implikasi dari PT, pertama bagaimana Pemilihan Presiden (Pilpres) hanya akan memunculkan dua pasangan calon yang head to head.

PT merupakan syarat pasangan calon di Pilpres di mana pasangan calon harus diusulkan parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Ini mempersempit kemungkinan lahirnya lebih tiga pasangan capres-cawapres. “Meski di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam prakteknya. Buktinya, pada dua Pilpres lalu, bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon,” tutur LaNyalla.

Dampak dua pasang calon menyebabkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. “Kondisi itu masih dirasakan hingga detik ini, meski sudah ada rekonsiliasi. Tentu sangat tak produktif perjalanan bangsa dan negara ini.”

Menurut LaNyalla, implikasi kedua dari PT menghambat putra-putri terbaik bangsa yang hendak maju di Pilpres, tanpa naungan partai politik karena sejatinya, negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten.

“Namun, kemunculannya digembosi aturan yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, semakin mengecilkan peluang muncul pemimpin yang terbaik,” ucap LaNyalla.

Implikasi ketiga PT berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih.
“Peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi, karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju sehingga kedaulatan rakyat melemah digerus partai yang menguat,” urai dia.

Implikasi lain dari PT yakni tidak berdayanya partai kecil di hadapan partai besar mengenai pasangan yang akan diusung. Padahal, parpol didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional.

“Tetapi dengan aturan ambang batas itu, peluang kader parpol tampil menjadi tertutup karena hanya parpol besar atau gabungan parpol yang dapat mengusung capres dan cawapres,” sebut dia.

Dari sejumlah argumentasi itu, LaNyalla menganggap PT sebenarnya lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Apalagi dalil PT disebut untuk memperkuat sistem presidentail agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, dianggap justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.

“Karena partai politik besar dan gabungan menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu. Bukan di hilir,” ujar LaNyalla.

Terkait PPT, Gunawan mengatakan itu tergantung dilihat dari aspek mana. Jika dilihat dari sisi kekuasaan tentu bermanfaat. Karena sebagai sarana untuk menguasai kepentingan sebagai penguasa. “Dari sisi rakyat tentu ya dilihat sendiri. Banyak mudharatnya. Sebab adanya tirani kekuasaan akan menyebabkan kepentingan rakyat tertinggal.”

Zainal Arifin Mochtar mengatakan, PT hanya untuk mengkonsentrasikan kekuasaan buat kepentingan tertentu. “Ini tak bisa dilepaskan permainan oligarki. Yang kita takutkan, jangan-jangan kita dimainkan sistem oligarki yang seakan-akan bagus dan dijamin MK,” jelas dia.

Lantas apakah amandemen bisa menjawab soal PT? Menurut Zainal sebenarnya tidak perlu dengan amandemen. “Sebenarnya kerja lebih mudah adalah Revisi UU tentang pemilu. Diubah saja di pasal-pasalnya soal ambang batas itu. Jadi tidak perlu dengan amandemen,” jelas dia.

Zainal khawatir amandemen malah merusak sistem presidensil yang diyakini Indonesia sekarang. “Amandemen jangan sampai merusak sistem presidensiil. Presidensiil itu yang memilih presiden adalah rakyat. Jangan sampai presiden dipilih lagi MPR atau parlemen.”

Iwan Satriawan mengatakan, banyak barikade-barikade yang harus dilalui dalam menggugat PT. Karena pasti ada pihak yang mengunci. “Semoga barikade itu bisa dibuka DPD RI. Namun, DPD RI tidak bisa sendiri, harus dengan bantuan dari gerakan mahasiswa, organisasi masyarakat atau civil society lainnnya,” jelas dia.

Iwan sepakat semua partai harus bisa mencalonkan Presiden, tak dikunci dengan ambang batas. “Menurut saya, PT harus dihapus agar muncul calon potensial. Perlu tekanan publik yang kuat agar parpol memikirkan kepentingan negara bukan menghamba pada oligarki,” kata dia. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait