JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto meminta rencana penghapusan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) oleh Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan sekedar wacana.
Niat tersebut, kata Wakil Ketua Fraksi PKS bidang Pembangunan harus dan Industri ini tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang sampai hari ini belum diterbitkan Pemerintahan Jokowi. Padahal sudah lebih dari 5 bulan molor dari jadwal yang ditentukan.
Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu lalu mengatakan, Pemerintah secara bertahap beralih dari PLTU ke pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT). Dan, pada kesempata terpisah, Dirjen Ketenagalistrikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, mengatakan hal yang sama.
“RUPTL itu kan rencana usahanya PLN. Namun, prakteknya tersandera Pemerintah, yang terus molor hingga hari ini. Pemerintah intervensi RUPTL terlalu dalam sehingga melupakan jadwal,” jelas wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut.
PLN dalam RDP itu mengakui, menemui kendala dalam upaya mengejar target bauran EBT 23 persen. Apalagi, kontrak dengan Independent Power Producer (IPP) dan pihak ketiga lainnya menggunakan asumsi pertumbuhan listrik yang tinggi, realitanya anjlok lebih dari separonya,” jelas Mulyanto.
Ditegaskan, Fraksi PKS DPR pada prinsipnya setuju dilakukan penghapusan secara bertahap listrik dari sumber batu bara. Dan, hal ini sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang mentargetkan energi dari sumber EBT 23 persen dari bauran energi 2025, yang hanya tinggal empat tahun lagi. “Kita setuju, tetapi bukan tanpa catatan,” imbuh Mulyanto.
Catatan pertama, kata dia, penghapusan listrik dari sumber batubara dan introduksi EBT yang semakin tinggi itu tidak mengorbankan pelanggan, masyarakat pada umumnya. Artinya, semua itu jangan sampai menjadi alasan bagi kenaikan Dasar Dasar Listrik (TDL).
“Jadi soal penghapusan PLTU ini jangan dijadikan akal-akalan untuk menaikan tarif listrik di tengah pandemi yang belum usai. Kasihan masyarakat kalau harus dibebani kenaikan TDL,” tegas pemegang gelar doktor nuklir Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang 1995 ini.
Kedua, penghapusan PLTU secara bertahap itu jangan juga mengerdilkan PLN. Menurut dia, kasihan PLN yang sudah terbelit utang ini kalau sampai dipaksa untuk membeli listrik EBT yang mahal. “Ujung-ujungnya untuk menutupi harga listrik yang tidak kompetitif, Pemerintah menggelontorkan subsidi untuk dinikmati pengusaha listrik EBT.
Listrik EBT ini sudah seharusnya didorong mekanisme yang lebih kompetitif dan sehat. PLN akan bangkrut, kalau setiap listrik swasta yang mahal wajib dibeli PLN. Sumber EBT lain harus belajar dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), yang bersama perkembangan teknologi dan ekosistem bisnis yang baik, harganya terus turun.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, 2013 harga listrik dari sumber tenaga surya 20 sen dolar (per kWh). Lima tahun terakhir harganya menurun sampai separonya menjadi 10 sen.
Dan data terbaru menyebutkan PLTS Apung di Cirata harganya 5,8 sen dolar (per kWh). Bahkan, diinformasikan ada calon investor yang berminat untuk investasi pembangunan PLTS di Tanah Air dengan harga listrik hanya 4 sen dolar per kWh.
Di beberapa negara Asean, harga listrik dari PLTS ini bahkan bisa mencapai 1.7 sen/kWh. Harga EBT yang di bawah BPP (biaya pokok pembelian) energi fosil itu yang kita dorong, sehingga harga listrik ini menguntungkan rakyat dan tidak membebani APBN Negara. (akhir)