Oleh: Ach. Fatori
(Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan, Universitas Lambung Mangkurat)
Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan 50 Rancangan Undang-Undang Prioritas ke dalam Prolegnas tahun 2020. Salah satu RUU prioritas yang harus selesai dibahas sebelum akhir tahun ini adalah RUU Pemilu. Melalui Badan Keahlian DPR telah dirilis draf RUU Pemilu lengkap dengan naskah akademiknya.
RUU Pemilu yang baru dirilis ini mengelaborasi 7 Undang-Undang sekaligus. Meliputi UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintah Daerah, UU Desa, UU MD1, serta UU Keuangan Pusat dan Daerah. RUU Pemilu tersebut merupakan serangkaian proses pembenahan yang dilakukan untuk terus membangun sistem politik. Gagasan paling mencolok dalam draf RUU ini adalah pemisahan Pemilu menjadi Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional. Untuk Pemilu Nasional, meliputi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pemilu lokal meliputi pemilihan Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pada padal 4 dan pasal 5 RUU Pemilu Pemilu tertuang bahwa Pemilu Nasional maupun Lokal akan diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Untuk Pemilu Nasional akan diselenggarakan 3 (tiga) tahun setelah Pemilu Lokal, sedangkan Pemilu lokal akan diselenggarakan 2 (dua) tahun setelah diselenggarakannya Pemilu Nasional. Konsekuensi dari pengaturan waktu pemilu tersebut adalah akan lahir opsi kapan Pemilu Lokal akan diselenggarakan pertama kali. Jika Pemilu Nasional sudah pasti akan diselenggarakan Tahun 2024, maka opsi penyelenggaraan Pemilu Lokal adalah tahun 2022 atau tahun 2026. Setiap opsi mengharuskan ada penyesuaian-penyesuaian lainnya, misalnya dipilih opsi Pemilu Lokal tahun 2022 maka harus menarik pelaksanaan pilkada tahun 2020 hingga tahun 2022 serta perlunya ada mekanisme kompensasi selama 2 (dua) tahun kepada anggota DPRD yang terpilih pada tahun 2019 kemarin.
*Sepakat RUU Pemilu Sebagai Perbaikan Sistem*
Banyak kalangan berpendapat bahwa sistem pemilu yang memisahkan antara pemilu lokal dan nasional adalah bagian dari sebuah cara untuk membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif. Dengan sistem yang seperti itu, maka tidak ada jaminan partai pemenang pemilu juga memenangkan pasangan eksekutifnya. Seperti halnya di Amerika, presidennya dari Partai Demokrat, mayoritas parlemen dikuasai Partai Republik.
Selain daripada itu, pemisahan pemilu lokal dan nasional juga akan menghilangkan dominasi isu nasional atas isu lokal. Seperti pada halnya Pemilu tahun 2019 kemarin, yang menserentakkan antara Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif, justru menyebabkan isu daerah tenggelam oleh dinamika isu Pilpres. Padahal isu lokal tidak kalah penting dalam membangun dinamika politik lokal yang sehat dan berkualitas. Oleh karena itu, desain pemisahan pemilu akan berdampak positif terhadap mengangkatnya isu lokal, yang nantinya akan berimplikasi terhadap menguatnya peran DPRD dalam menjalankan Otonomi Daerah.
*Wadah Politik Milenial Terlupakan*
Pada Pemilu Tahun 2019 generasi millenial memiliki tempat yang khusus dalam kancah perpolitikan Indonesia. Bagaimana tidak, generasi tersebut adalah penyumbang suara terbanyak dari seluruh segmen pemilu di Indonesia. Suara pemilih milenial yang persentasenya mencapai 34,2% dari total 152 juta pemilih tentu sangat menentukan arah politik bangsa Indonesia. Akan tetapi yang cukup disayangkan adalah generasi yang dianggap sebagai penentu arah masa depan bangsa sekedar menjadi komoditi politik bagi praktisi politik di Indonesia.
Terlepas dari berbagai hasil survei berbagai lembaga yang kemudian menyimpulkan bahwa generasi milenial cenderung apatis dalam berpolitik. Namun apatis tersebut bukanlah apatis yang kemudian tutup mata akan kondisi bangsanya, mereka cenderung apatis yang kritis, hanya saja cara partisipasi mereka cenderung non-konvensional. Meskipun seperti itu, generasi milenial tetap perlu dan diberikan ruang untuk tetap terlibat secara konvensional dalam hal ini adalah keterlibatannya secara langsung dalam Pemilu baik sebagai Peserta Pemilu maupun Penyelenggara Pemilu.
Namun draft RUU Pemilu yang baru saja dirilis ini belum bisa dikatakan mengakomodir secara utuh kepentingan generasi milenial untuk terlibat aktif dalam perpolitikan Indonesia. Misalkan dalam konteks kepesertaan politik dalam hal ini calon kepala daerah. Pasal 182 Ayat (2) poin g menyebutkan syarat minimal usia calon Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 30 (tiga puluh) tahun dan untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Sedangkan dalam konteks penyelenggara Pemilu, syarat umur minmal bagi calon anggota KPU/Bawaslu adalah 40 tahun, paling rendah 35 tahun untuk anggota KPU/Bawaslu Provinsi, dan berusia paling rendah 30 tahun untuk calon anggota KPU/Bawaslu Kabupaten/Kota.
Disisi lain, untuk calon anggota DPR, DPD, dan DPRD mensyaratkan usia minimal relatif lebih rendah yakni 21 (dua puluh satu) tahun. Dengan batas minimal usia bagi calon legislator tersebut sebetulnya telah mengakomodir generasi muda atau generasi milenial untuk berkontestasi dalam perpolitikan di Indonesia. Berdasarkan data-data tersebut terlihat ada ketidakkonsistenan dalam menentukan syarat minimal usia. Jika alasannya adalah tentang kedewasaan dan kematangan dalam berpikir dan bersikap, semua posisi tersebut baik calon kepala daerah, anggota legisltaif, maupun penyelenggaraan pemilu pasti membutuhkan itu. Hanya saja kesempatan dan hak yang sama sangatlah dibutuhkan oleh semua kalangan termasuk generasi milenial untuk mengeksplorasi diri sebagai bentuk kontribusi kepada masa depan bangsnya
*Beri Ruang Untuk Generasi Milenial*
Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Pasal 15 disebutkan: “Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Termasuk mencederai hak asasi manusia jika generasi milenial tidak bisa mengembangkan dan melibatkan diri secara aktif sebagai peserta maupun penyelenggara pemilu karena alasan batas usia.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 25 disebutkan bahwa Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan tanpa pembedaan apapun, untuk ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih, dan Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum. Jaminan-jaminan hak tersebut menandakan sangat jelas bahwa ada jaminan hak sipil dan politik terhadap setiap warga negara indonesia dalam hal memperoleh akses pelayanan umum dengan dasar persamaan tanpa diskriminasi termasuk diskriminasi usia.
Kalau berbicara batas usia untuk terlibat aktif dalam politik indonesia. Maka salah satunya harus dilihat dari sudut pandang psikologi. Secara umum, orang yang berusia 20-40 tahun telah tergolong dewasa awal. Pada tahap itu mereka memasuki masa transisi baik secara fisik, intelektual serta peran sosial. Masa dewasa awal adalah puncak perkembangan sosial fase dewasa dan bisa dikatakan pada masa itulah mereka mulai beralih dari fase egosentris menjadi sikap empati.
Pada akhirnya bisa dikatakan bahwa kematangan dewasa awal adalah berawal dari usia 20 tahun. Hal ini menandakan aturan terkait batas minimal bagi Calon Kepala Daerah, Anggota DPRD, dan Penyelenggara Pemilu tersebut sejatinya masih bisa dievaluasi lagi. Misalnya bisa jadi usia 20-an sudah layak untuk menjadi anggota KPU/Bawaslu di Daerah Kabupaten/Kota yang dalam usulan draft RUU masih mensyarakatkan minimal usia 30 Tahun. Atas dasar itulah yang kemudian RUU seharusnya membuka ruang dan perlu memberikan kesempatan kepada semua kalangan khusnya generasi muda atau yang hari ini dikenal dengan generasi milenial untuk bisa berkontribusi untuk memajukan bangsanya, baik sebagai Peserta Pemilu maupun Penyelenggara Pemilu.