Jakarta —Anggota Komisi III DPR R dari Fraksi PKS, Nasir Djamil mengakui Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset bagi pelanggar tindak pidana khususnya koruptor berjalan lambat.
”RUU ini ibarat binatang siput yang berjalan lambat sekali. Bahkan RUU tersebutpun belum masuk prolegnas, ”kata Nasir Djamil dalam diskusi Urgensi RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana, di Media Center DPR/MPR, Selasa ((28/2/2023) Jakarta.
Menurut Djamil, RUU ini merupakan inisiatif pemerintah yang diajukan ke DPR beberapa tahun lalu untuk dibahas. Namun hingga sekarang belum juga dibahas.
Dikatakan baik pemerintah maupun DPR sangat hati-hati untuk membahas RUU ini. Sebab RUU ini bisa jadi bumerang. RUU ini bisa mengenai penyelenggara negara atau anggota DPR.
”Ada kekuatiran, RUU ini akan seperti senjata makan tuan atau kemana undang-undang ini mau diarahkan, sebab yang punya aset adalah orang yang punya kuasa orang yang tak punya kasa mana mungkin punya aset,’kata Djamil.
Makanya RUU ini jalannya kayak siput alias keong. Lambat sekali. ”Kalau istilah Jawa Alon alon waton kelakon, ”katanya.
Menurut Djamil, orang yang punya aset itu adalah orang yang punya kuasa, karena itu dikhawatirkan RUU ini mengarah kepada orang-orang yang punya kuasa. ‘Termasuk orang-orang yang ada di gedung ini.
”Di gedung inikan banyak kuasa, diantaranya adalah kuasa membuat anggaran, kuasa membentuk undang-undang dan kuasa untuk melakukan pengawasan sementara di seberang sana (pemerintah) ada kuasa untuk menggerakan sumber daya manusia dan kemudian mengekseskusi angaran-anaggran yang disepakati dalam rencana anggaran dan pendapatan belanja negara kalau itu dalam skala nasional,’jelas Djamil.
Djamil mengingatkan bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Jadi semakin besar kekuasaannya, semakin besar potensi untuk mendapatkan aset, semakin besar kekuasaannya, semakin besar untuk melakukan penyimpangan.
Karenanya, politisi PKS ini menduga jangan-jangan pemerintah juga menyesal. Menyesal menyodorkan RUU ini. ”Namanya juga jangan-jangan, , berarti kan bisa jadi iya dan bisa jadi tidak”katanya.
Menurut Djamil, dalam konteks pencegahan dan pemberantasan tidak pidana, apakah itu tindak pidana korupsi atau terorisme atau kejahatan-kejahatan lainnya yang di situ ada potensi yang penggelapan aset, maka sebenarnya rancangan undang-undang ini sangat strategis, agar aset tidak hilang.
Ini akan membuat institusi penegak hukum berlomba-lomba untuk menyelamatkan aset negara dan itu bisa menjadi penerimaan negara bukan pajak. Jadi KPK misalnya kemudian Kejaksaan, kepolisian itu berlomba-lomba bagaimana caranya melakukan apa yang disebut dengan recovery aset.
Sementara itu pengamat hukum pidana dari Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar merasa keberatan penggunaan istilah ‘Perampasan’ yang berkonotasi sebuah pelanggaran hukum.
”Perampasan aset, melihat terminologinya yang digunakan perampasan itukan kata yang sebenarnya melawan hukum, ”katanya.
Namun AbduL Fickar memahami pengunaan kata rampas. Karena pada kenyataannya dalam penegakkan hukum ada institusi atau lembaga untuk perampasan aset ini yaitu lembaga penyitaan dan pelelangan. Melelang hasil sita, itu ada cuma yang memiliki cuma penegak hukum dalam hal ini kejaksaan, KPK.
Namun yang paling absas sebenarnya adalah *pengadilan* karena pegadilan bisa langsung menjual, bisa langsung menyita dan melelang. Berbeda dengan kejaksaan dan KPK itu hanya menyita, karena kalau belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap juga tidak bisa.
Bahkan relasi kepemilikan dengan orang yang disangka melakukan tindak pidanapun belum bisa diputus, sebelum adanya putusan pengadilan, meskipun statusnya disita.
Menurut Abdul Fickat penyitaan tidak membuat halal, mengalihkan barang itu kepada kepemilikannya, sita itu sementara tidak bisa dipindah tangankan..
Jadi, lanjutnya, sebenarnya harus jujur diperjelas apa sebenarnya yang di maksud dengan Perampasan aset. Karena perampasan aset secara yuridis itu dimiliki kewenangannya oleh pengadilan, menyita, melelang terutama hasil kejahatan.
Persoalannya apakah nanti pemerintah akan membentuk lembaga baru yang punya wewenang untuk merampas aset yang dikorupsi. (ar)