Jakarta, beritalima.com| – Setiap kali banjir besar menghantam wilayah Indonesia, kita mendengar narasi sama: curah hujan ekstrem, drainase buruk, kurangnya kesadaran masyarakat.
Setiap tahun kita berduka, dan setiap tahun narasi yang sama diulang. Namun di balik semua itu, terdapat satu elemen kerap dipinggirkan: rekayasa.
Dalam konteks ini, rekayasa bukan hanya soal membangun infrastruktur, tetapi soal merancang para perancang sistem yang mampu memahami, memprediksi, dan mengeksekusi mitigasi secara presisi.
Banjir melanda Sumatra Utara misalnya, adalah cermin dari apa yang gagal kita desain. Hulu sungai yang gundul, sungai yang dangkal, jembatan yang runtuh, dan sistem informasi yang amburadul — semua menunjukkan bahwa mitigasi tidak sedang dijalankan, atau bahkan tidak ada.
Peran insinyur dan akademisi bukan pelengkap. Mereka Harus Duduk di Meja Strategis. Selama ini, para insinyur kerap hadir di hilir: memperbaiki yang sudah rusak, membangun ulang yang sudah hancur.
Padahal mereka harus berada di hulu perencanaan. Perencanaan tata ruang, perizinan pembangunan, hingga strategi pertahanan nasional berbasis apa yang mungkin terjadi harus melibatkan suara rekayasa sejak awal.
Salah satu aspirasi yang muncul dari rekan kami di Teknik Sipil Universitas Indonesia adalah desain jembatan tahan banjir, seperti model gantung ringan serta jembatan darurat berbasis modular yang dapat dibangun dengan cepat.
Namun mereka sadar: tanpa dukungan data debit air, karakter tanah, dan pola banjir masa lalu, jembatan terbaik pun akan gagal. Oleh karena itu, peran lintas disiplin perlu dikuatkan — posisi insinyur serta akademisi harus diangkat.
Quantum Sensing dan Sistem Peringatan Dini Nasional menjadi vital. Universitas Pertahanan RI mendorong pengembangan quantum sensing untuk mendeteksi tekanan tanah, kelembapan, hingga pergerakan air tanah secara presisi tinggi.
Teknologi ini bisa memperluas jangkauan deteksi dan memberi waktu tambahan bagi masyarakat dan aparat untuk bersiap, apalagi jika itu dikomplemenkan dengan sistem peringatan dini nasional.
Indonesia sebenarnya telah memiliki Sistem Nasional Peringatan Dini Kebencanaan (SNPDK). Namun, banjir kemarin membuktikan integrasinya masih jauh dari optimal. Tantangan terbesarnya bukan pada sensor, tapi pada keterhubungan antar-instansi yang mana acapkali sikut-menyikut untuk tujuan yang sama.
Selain itu, SNPDK juga menyebarkan informasi dengan lambat, kadang kala karena hal yang dapat dihindari, seperti matinya generator listrik cadangan dari tower-tower BTS.
Konsep Triple-𝑖 : Infrastruktur, Informasi, Integritas. Kami mengusulkan tiga poros besar dalam mitigasi berbasis rekayasa:
Infrastruktur: mendanai penelitian dan pilot project untuk struktur fisik seperti jembatan tahan banjir, jembatan lipat, kanal evakuasi, dan zona resapan buatan berbasis simulasi hidrologi modern.
Informasi: mendanai penelitian dan pilot project quantum sensing, pemetaan kerentanan baik sosial maupun geologis, dan juga sistem peringatan dini nasional yang menjamin respons akurat real-time.
Dan Integritas: melibatkan insinyur, akademisi, dan masyarakat dalam forum terbuka, agar setiap rancangan teknis bisa diuji secara akademis, teknis, dan mempunyai dukungan sosial serta politis.
Jadi, negara yang ingin tangguh terhadap bencana tidak cukup hanya memiliki dana siap pakai atau dokumen strategi. Ia harus memiliki sistem yang dirancang dengan pendekatan presisi.
Saatnya rekayasa tidak hanya jadi alat pelaksana, tapi menjadi arsitek strategi nasional mitigasi bencana.
Saatnya insinyur dan akademisi duduk di kursi pengambil keputusan, bukan diundang setelah krisis datang. Karena ketika rekayasa hadir di meja strategi, yang diselamatkan bukan hanya masa kini — tapi juga masa depan.
Oleh: Omar Sugiharto (Magister Rekayasa Pertahanan Siber, UNHAN RI), Rifandi Indrayudha (Magister Rekayasa Pertahanan Siber, UNHAN RI).
Dengan masukan dari: Mustafa Kamal (Magister Hukum Keadaan Darurat, UNHAN RI), Fachriani Baharuddin (Magister Manajemen Bencana, UNHAN RI) dan Nurul Meika (Magister Manajemen Bencana, UNHAN RI)








