Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH
ANCAMAN dan ultimatum pihak Sekutu yang disampaikan Komandan Tentara Sekutu, Jenderal EC Mansergh hari Jumat, 9 November 1945, benar-benar dilaksanakan, Sabtu pagi, 10 November 1945. Seluruh kekuatan angkatan perangnya, baik darat, laut dan udara dikerahkan menggempur pertahanan Arek Suroboyo di Kota Surabaya.
Walaupun terjadi pertempuran yang tidak berimbang, perlawanan dari pejuang Indonesia tidak pernah surut. Berbagai kesatuan pejuang dan laskar yang sudah membuat “Sumpah Kebulatan Tekad” tanggal 9 November 1945, malamnya, pada pagi hari 10 November itu sudah siaga di segala lini pertahanan.
Pasukan pejuang sudah bersiap menghadapi senjata modern milik Sekutu yang baru saja memenangkan pertempuran dalam Perang Dunia II. Alat dan armada perang yang membuat Jepang bertekuk lutut di Asia dan Jerman bersama Italia di Eropa itu dipergunakan membombardir Kota Surabaya.
Kota Surabaya diserang dengan meriam-meriam yang ditembakkan dari armada kapal yang berelabuh di Tanjung Perak. Tank-tank dan panser, serta truk serdadu Inggris dan Gurkha bergerak dari Tanjung Perak menuju jantung Kota Surabaya. Tembakan mitraliur dan senapan mesin tiada henti dimuntahkan ke segala penjuru tempat pertahan Arek Suroboyo. Dari udara, pesawat terbang yang meraung-raung menjatuhkan bom ke gedung-gedung dan posko pertahanan pasukan kita.
Sesuai dengan kesepakatan rapat koordinasi yang dipimpin Kolonel Soengkono dari TKR sebagai Komandan Pertahanan Surabaya, membagi pertahanan Kota Surabaya dari empat sektor. Sektor barat dipimpin Koenkiyat, Sektor Tengah dipimpin Kretarto, Sektor Timur oleh Mahardi dan Sektor Selatan dipimpin Kadim Prawirodirdjo.
Pertempuran berawal dari gerakan tentara Sekutu dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Arak-arakan tank, panser dan truk itu dihadang oleh PRI-AL (Pemuda Republik Indonesia- Angkatan Laut) yang memiliki senjata ringan rampasan dari tentara Jepang di Jalan Jakarta, daerah Sawahpulo, Semampir dan Pegirian. PRI-AL ini dibantu oleh PRI Sulawesi yang tergabung dalam PRI Utara yang dipimpin Warrow dengan kekuatan sekitar 30 orang. Pasukan ini juga dibantu laskar Hisbullah yang berjumlah sekitar 50 orang.
Pasukan Inggris terus menyerbu ke pos pertahanan pemuda yang berjumlah sekitar 100 orang di sekitar bioskop Sampoerna dan komplek pabrik rokok Liem Sing Tee (Dji Sam Soe). Dengan tekad membara, pejuang yang berasal dari kampung Kebalen, Lebuan, Pesapen dan Tambak Bayan itu terus menembakkan senjatanya ke arah truk dan pasukan yang berjalan kaki.
Pukul 11.00 tentara Sekutu menembakkan destroyer cavalier sebanyak 57 kali meriam 45 inci. Begitu juga destroyer Carron sekitar 350 kali menggunakan meriam 45 inci. Tidak sedikit gedung di sepanjang jalan yang dilewati rusak akibat tembakan membabibuta itu.
Gerakan tentara Inggris dan Gurkha yang sudah terlatih itu terus menuju ke arah markas polisi (Hoofd Bureau) di Jalan Sikatan. Belasan pemuda gugur dan beberapa bagian gedung mengalami kerusakan akibat tembakan dan granat yang dilemparkan musuh. Gencarnya serangan yang dilakukan Sekutu, membuat pejuang kita mundur masuk ke kampung-kampung sekitar di seberang Kalimas.
Mendapat serangan yang gila-gilaan itu, membuat pertahanan pemuda kacau. Mereka berlarian menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan senjata modern itu. Kalau semula PRI-AL dapat bertahan di stasiun KA Sidotopo, akhirnya terpaksa mundur sampai ke daerah Kenjeran.
Para pemuda yang bertahan di sepanjang rel kereta api dari Pasarturi, viaduck dekat kantor gubernur sampai ke Sidotopo yang jumlahnya mencapai 400 orang itu, mampu membuat pasukan Inggris kalangkabut. Korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Warga kota Surabaya, terutama anak laki-laki dan pemuda yang mendengar suara Bung Tomo yang terus menerus membakar semangat melalui corong radio yang disiarkan dari studio Radio Surabaya yang di zaman Belanda bernama NIROM di Jalan Embong Malang. Tanpa pikir panjang berhamburan dengan senjata yang mereka miliki ke luar rumah. Mereka bukannya menggunakan senapan atau senjata api, tetapi justru ada yang membawa keris, parang, pedang, bambu runcing, serta clurit.
Tindakan “konyol” itu membuat tentara Sekutu ketakutan akibat ada yang tewas kena gorok dan tusuk senjata tajam, namun pada umumnya kemudian mereka dihabisi oleh tembakan senapan mesin. Tubuh-tubuh bergelimpangan dan banjir darah di mana-mana.
Menurut komandan PI (Polisi Istimewa), Inspektur Soetjipto Danoekusumo, sejak pagi ia berkeliling dengan panser dan memberikan briefing (pengarahan singkat) di depan kantor besar polisi. Tiba-tiba, pesawat terbang Inggris menjatuhkan bom. Peluru kanon pasukan Sekutu itupun berjatuhan di sekitar kantor polisi. Belasan anggota PPI (Pembantu Polisi Istimewa) berguguran.
Pasukan Inggris terus maju, namun tidak mudah, karena jalan raya sudah dipasangi rintangan oleh para pemuda dengan menumbangkan pohon-pohon dan juga balok-balok kayu dan tumpukan batu.
Tidak hanya kantor besar polisi yang menjadi sasaran tentara Inggris, tetapi juga markas besar TKR di gedung HVA yang dipimpin Dr.Moestopo. Gedung Borsumij dan bekas kantor Kempetai yang dijadikan markas TKR pimpinan Jenosewojo juga digempur habis-habisan.
Benar-benar Arek
Wartawan senior, almarhum Wiwiek Hidayat dalam tulisannya di Harian Jawa Pos, 4 November 1990, mengungkap catatan berdasarkan pengamatannya sebagai seorang jurnalis. Tanggal 10 November 1945, menurut mantan kepala kantor berita Antara itu adalah prolog dan eposnya Arek-arek Suroboyo.
Pengertian arek ini “benar-benar arek”, karena para pejuang ini rata-rata memang “masih anak-anak muda” yang usianya 13 hingga 25 tahun. Mereka ini masih pelajar SMP hingga SMA yang bergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Di antaranya ada yang sudah kuliah di perguruan tinggi, bahkan sarjana seperti drg (dokter gigi) Moestopo, serta ada pula yang sudah dilatih sebagai tentara Heiho dan Peta. Di samping yang terbanyak adalah anak muda pengangguran.
Peristiwa 10 November benar-benar didominasi pemuda. Jadi, “gerakan” pemuda lah yang sangat menonjol pada hari-hari pertama itu. Gerakan ini pada mulanya ada pada pemuda “salon” dan intelektual. Tetapi secara cepat berubah menjadi gerakan yang lebih radikal. Sehingga perlawanan terhadap Sekutu benar-benar tidak terkendali. Sampai-sampai pihak musuh kehilangan akal menghadapi tindakan sporadis dan membabibuta “ala bonek” itu, kisah Wiwiek suatu ketika kepada penulis.
Pertempuran yang diawali 10 November 1945 itu terus berlanjut. Pertahanan Arek Suroboyo semakin terdesak ke arah selatan. Sampai akhirnya, terjadi pengungsian ke luar kota. Kalau semula garis pertahanan adalah viaduck dan jalan kereta api dari Sidotopo hingga Pasarturi, akhirnya mundur sampai ke Ngagel, Wonokromo, Gunungsari hingga Sepanjang, bahkan Mojokerto.
Bagaimanapun juga, perjuangan Arek Suroboyo membuat Sekutu kalangkabut. Berita di mediamassa luar negeri, ternyata memberikan salut kepada pejuang Indonesia di Surabaya. Sejak Mallaby tewas, kemudian perang berkecamuk dari darat, laut dan udara, seolah-olah merupakan kelanjutan dari Perang Dunia II. Artinya, Perang Dunia II belum berakhir dengan kekalahan Jepang, Jerman dan Italia. Sekutu masih punya lawan berat sebagai musuh, yaitu Arek Suroboyo.
Perang di Surabaya ini hingga sekarang masih diabadikan di Imperial War Museum di London, Inggris. Ada sebuah foto yang menarik, anak usia sekitar 11 tahun digiring oleh serdadu Gurkha dengan bayonet terhunus. Penjelasan foto itu adalah: “Anak ini tertangkap setelah terkena tembakan pada kakinya dan pincang. Sebelumnya anak ini menembaki tentara Sekutu dan melemparkan granat”.
Ini adalah laporan sebuah regu dari pasukan Sekutu di Surabaya. Ada lagi sebuah foto, dua orang serdadu Inggris sedang menggali tanah untuk perlindungan dari serangan hebat pejuang Surabaya. Di belakang ke dua tentara itu asap hitam menjulang ke udara, dari rumah penduduk yang terbakar. Dan masih banyak foto-foto lain yang menggambarkan kejuangan Arek Suroboyo yang diabadikan di museum perang Inggris itu.
16 Ribu Nyawa Melayang
Siang malam pertempuran berlangsung tiada henti. Bantuan dari pemuda dan laskar juga terus berdatangan dari luar kota. Ada yang naik truk, berjalan kaki dan menumpang kereta api. Tanpa disadari tidak kurang 16 ribu nyawa pejuang melayang sebagai kusuma bangsa. Mereka dimakamkan di Taman Kusuma Bangsa, Ngagel dan pemakaman umum Tembok, Pegirian, Tembaan, serta makam umum di kampung-kampung Surabaya. Banyak di antara mereka adalah pahlawan tidak dikenal.
Pertempuran seru berlangsung sampai sampai akhir November 1945. Para pejuang saat itu tidak lagi menghitung hari, tetapi sudah dari menit ke menit. Para pemuda pejuang sibuk bertempur melawan Sekutu. Surabaya menjadi neraka. Inferno bagi Inggris. Namun menjadi kawah candradimuka bagi pejuang yang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Perang yang “dahsyat” berlangsung selama 20 hari di Surabaya ini menjadi catatan bagi dunia, khususnya Sekutu dan Inggris. Bahkan, bagi bangsa Indonesia, peristiwa heroik di Surabaya ini tidak akan pernah dilupakan. Sejarah Indonesia sudah mencatat dan mengabadikannya sebagai “Hari Pahlawan” yang diperingati setiap tanggal 10 November. Dan, Kota Surabaya memperoleh predikat “Kota Pahlawan”.***