Salah Menjadi Korban

  • Whatsapp

“Makanya jangan pake baju terbuka”

“Jangan pulang terlalu malam!”

“Lo sih pake transportasi umum”

Setuju atau tidak, pelecehan seksual sebenarnya sering terjadi di sekitar kita. Hanya saja, masyarakat Indonesia merasa masih terlalu tabu untuk membicarakannya. Kebanyakan korban pelecehan seksual tak ingin membicarakan apa yang dialami karena mereka mengetahui sesuatu. Ya, mereka tahu akan disalahkan, meskipun mereka korban.

Pelecehan seksual menurut Macionis (1996 : 261) dalam Pengantar Sosiologi oleh Kamanto Sunarto adalah “Komentar, isyarat, atau kontak fisik yang bersifat seks, diulang-ulang, dan tidak dikehendaki.” Siapa pula yang menghendaki untuk menjadi korban pelecehan seksual? Tidak pernah ada! Meski begitu, korban pelecehan seksual tetap saja disalahkan.

Sebenarnya pelecehan seksual terjadi hampir tiap saat dan dimana saja. Pemerkosaan bukan hanya satu-satunya tindak pelcehan seksual. “Eh neng cantik mau kemana?” adalah contohnya. Hal sepele seperti menggoda orang yang lewat di pinggir jalan seperti itu termasuk pelecehan seksual. Kegiatan menggoda ini lebih sering disebut catcalling.

Tak hanya pemerkosaan dan catcalling, ketika ada bagian tubuh tertentu yang disentuh secara sengaja juga merupakan pelecehan seksual. Terlebih lagi yang disentuh adalah bagian yang “pribadi”. Pelecehan seksual seperti catcalling sering terjadi di jalan raya, halte bus, dan berbagai tempat umum lainnya. Sedangkan pelecehan seksual berupa menyentuh bagian tubuh biasanya di tempat yang penuh kerumunan, seperti di dalam tranportasi umum, yaitu kereta, bus, dan lainnya. Para pelaku bisa bertindak karena mereka beranggapan pada saat seperti itulah mereka bisa mengambil “keuntungan”.

Jika ada pemikiran bahwa korban pelecehan seksual hanya perempuan, hal ini jelas salah. Semua orang bisa menjadi korban pelecehan seksual, terlepas dari gender mereka. Laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan seksual, meski kebanyakan korban memang perempuan. Seperti korban, pelaku juga bisa siapa saja.

Banyak korban pelecehan seksual yang tidak bereaksi bahkan melawan ketika sedang dilecehkan. Hal ini dikarenakan tak semua orang bisa merespon dengan cepat dan ini bukan salah korban. Masyarakat di Indonesia kebanyakan akan tetap beranggapan pada kejadian pelecehan seksual bahwa korban yang salah. Padahal tak ada korban yang menginginkan dan mengira akan dilecehkan.

Mengapa banyak korban pelecehan seksual yang tidak ingin membicarakan apa yang mereka alami? “Pertama budaya Indonesia yang masih kurang asertif buat ngomong tentang sesuatu. Kedua gara-gara dia merasa stress dan malah nyalahin diri mereka sendiri karena gak bisa jaga diri mereka,” ujar Rifqi Hadyan, mahasiswa psikologi di Universitas Indonesia.

Aneh, bukan? Masyarakat di Indonesia lebih senang menyalahkan korban dibandingkan memberikan dukungan moral kepada korban. Mereka seperti ini dengan dalih budaya. Lagi-lagi budaya yang dijadikan pembenaran atas tindakan mereka. Tindakan seperti ini sering ditemukan, meski tidak semua masyakat di Indonesia melakukannya. Biasanya hanya segelintir orang yang lebih “terbuka” pikirannya akan melakukan hal yang sepatutnya, mendengarkan cerita korban tanpa menghakimi dan bahkan memberikan dukungan moral.

Dilansir dari iics.sch.id, asertif adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan pikiran, perasaan, dan keinginan secara jujur kepada orang lain tanpa merugikan orang lain. Seharusnya masyarakat di Indonesia lebih asertif dan mengurangi memberikan penilaian bahkan label diawal. Tetapi mau bagaimana? Untuk berubah itu tak mudah, butuh kemauan dan waktu.

Masyarakat di Indonesia seharusnya bisa mengurangi kebiasaan victim blaming, menyalahkan korban. Bagamaina pun korban telah mengalami sebuah tindakan yang tak dikehendaki dan dirugikan karenanya. Diharapkan lebih dari segelintir orang berpikiran lebih terbuka untuk melakukan hal yang sepatutnya kepada korban pelecehan seksual. Seperti manusia pada umumnya, korban pelecehan seksual butuh seseorang untuk mendengarkan cerita mereka, tanpa dihakimi. Korban pelecehan seksual lebih membutuhkan dukungan moral daripada label penilaian. Cerita mereka pun bila diperhatikan secara seksama, dapat dijadikan pembelajaran. Pembelajaran agar kita lebih waspada dan tak mengalami pelecehan seperti mereka, para korban pelecehan seksual.

Sumber foto: Shutterstock

Nama: Anisa Diniyanti

Status: Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Jurusan: Teknik Grafika dan Penerbitan
Progaram Studi: Jurnalistik

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *