Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Banjarmasin)
Seorang kiai sebuah pengurus NU di suatu daerah, tampak sangat serius saat bertausiah. Meskipun dengan emosi yang masih terkontrol, namun tetap tidak dapat menyembunyikan kemarahannya. Berbagai kalimat bernada menyerang ia lontarkan di depan jamaah resmi organisasi. Diksi-diksi yang digunakan di samping bernuansa ofensif juga kasar. Audiens yang ada juga merupakan jamaah resmi dapat dikatahui dari latar belakang panggung yang jelas-jelas mengatasnamakan organisasi, NU. Kalimat sang kiai tersebut tidak lain ditujukan kepada kelompok para ‘anti habaib’. Kelompok yang mulai tumbuh subur di era kepengurusan NU periode 2022-2024 hasil Muktamar Lampung ini, dianggapnya ‘mengancam’ eksistensi NU.
Kelompok anti habaib tersebut, memang telah mulai menggejala sejak munculnya beberapa oknum habib yang secara vulgar telah berani ‘kurang ajar’ kepada Gus Dur, dan bahkan sudah ada yang dengan lantang mengejek NU sebagai organisasi. Dalam perkembangan, kebijakan-kebijakan NU yang secara politik kebetulan berseberangan dengan para oknum habib itu juga mereka respon berlebihan. Sejumlah kalimat kasar dan tidak terpuji mereka lontarkan. Mereka lupa bahwa mereka eksis di bumi nusantara, sejatinya adalah berkat ‘jasa’ para kiai NU. Para kiai menanamkan, bahwa memulyakan dzurriyat rasulullah, menjadi bagian dari akhlak penting para santri.
Gerakan kelompok pengkritis habaib tersebut, semula memang muncul diam-diam. Kesadaran kolektif untuk mengkritisi eksistensi para habaib mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi. Mereka kemudian eksis dan ekspresif setelah kemunculan Kiai Imaduddin, seorang kiai muda fenomenal dari Banten. Penelitiannya tentang nasab para habaib secara kebetulan melegitimasi ‘kebencian mereka terhadap para oknum habaib selama ini. Dengan memakai pendekatan historis, filologis, dan genealogis, disimpulkan bahwa nasab (para habaib di Indonesia) tidak terbukti sebagai keturunan Rasulullah SAW sebagaimana yang dipercaya oleh banyak orang (NU) selama ini.
Pemilik tesis–tentang kepalsuan ketersambungan nasab habaib sebagai dzurriyat Rasulullah–tersebut dari panggung ke pagung juga menghimbau kepada siapa pun agar memperlakukan para habib sebagai orang kebanyakan. Yang pasti, kelompok para ‘pembenci’ (perilaku) oknum habaib tersebut kemudian kemudian seperti mendapat penghulu sekaligus menemukan legitimisasi ilmiah kebencian mereka selama ini.
Dalam perkembangan, sejumlah ‘dosa’ para Bani Baalwi (sebutan lain para habaib) juga mereka temukan, mulai dari dugaan pemalsuan makam, pandangan keagamaan ‘sesat’, dan pembelokan sejarah tidak saja sejarah NU tetapi juga sejarah nasional.
Akibat dari diskursus habaib tersebut kini, diakui atau tidak, para kiai NU harus terbelah menjadi dua madzhab besar: para pembela habaib di satu pihak dan pengkritis habaib di pihak lain. Kondisi demikian tentu menarik sekaligus perlu diwaspadai dampaknya. Terutama jika dikaitkan sedengan eksistensi pesantren. Jutaan santri yang menjadi penghuni berbagai pesantren NU, akan terkena imbasnya. Imbas dimaksud adalah situasi dan kondisi akibat polarisasi pandangan para kiai mereka terhadap eksistensi habaib yang dari hari ke hari terus bergulir. Pandangan kedua belah pihak, yang sama-sama berbasis nahdhiyyin, tampak sudah mengkrital menjadi 2 kubu yang antagonis karena tidak ada tanda-tanda saling mengalah. Polemik nasab kini seolah tidak lagi mampu mempersonifikasikan tradisi beda pandangan antar kiai NU. Tradisi pandangan tersebut yaitu kebiasaan beda pendapat soal ilmu, tetapi tetap dalam suasana keakraban saat saling bertemu. Atau, meminjam istilah almaghfurlah K.H. Muchit Muzadi, tradisi “gegeran” yang segera berubah “ger-geran”.
Dalam situasi demikian, para santri tentu akan mengalami kebingungan. Pesantren yang masih kental dengan kasalafannya, fenomena dukung mendukung habaib tentu kurang berpengaruh. Pandangan kiai panutannya tentu akan lebih mudah menggiring ke arah mana para santri akan berpandangan. Sejumlah doktrin santri yang mengaitkan keberkahan ilmu dengan ketaatan kepada guru akan lebih mudah mengarahkan penyatuan pandangan santri denga para kiainya. Akan tetapi, yang demikian tentu kurang berlaku bagi pesantren yang berbau urban. Konsekuensi mereka berada di lingkungan dengan tradisionalitas yang mulai tergerus oleh derasnya arus informasi, relatif sulit membendung jiwa kritis para santri. Dengan tetap mengaji kitab-kitab kuning berikut menghormati eksistensi guru, mereka lebih leluasa memilih pandangan yang menurutnya lebih rasional meskipun mungkin harus berseberangan dengan pandangan kiai mereka.
Pada akhirnya, peringatan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober—yang ditetapkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo dengan Keppres Nomor 22 Tahun 2015–ini, kini tampaknya paling tidak menyisakan sebuah problem baru. Dalam hal ini polarisasi santri akibat polrasisasi pandangan para kiainya dalam polemik nasab habaib yang kian hari tampak kian meruncing. Satu hal yang lebih mendasar adalah ketika para santri saat ini mau tidak mau harus terseret pada situasi di luar tradisi kesantrian. Tradisi kesantrian dimaksud adalah yang dilukiskan dalam surat al Taubah ayat 122, yaitu kewajiban menuntut ilmu pengetahuan agama (al-tafaqquh fi al-din) yang tertuang dalam berbagai kitab kuning.
Tentang polemik nasab ini, sebagai ilustrasi, kita dapat membayangkan bagaimana santri harus bersikap jika kebetulan berbeda pandangan dengan kiai atau kalaupun kebetulan sejalan, bagaimana jika wali santrinya yang tidak sejalan dengan pandangan kiainya. Akibat keyakinan sebagai dzurriyat rasulullah SAW, tradisi menghormat para habaib memang menjadi bagian dari tradisi (akhlak) santri. Tetapi kajian yang berujung polemik nasab habaib, sejatinya bukan bagian dari tradisi kelimuan santri selama ini. Meskipun demikian, disebabkan oleh latar belakang tertentu, polemik itu kini tampaknya memang harus mengemuka. Bagaimana kesudahannhya atau kelompok mana yang akan ‘menang’? Wallahu a’lam.