Santri Sebagai Pemuda Penyelamat Karakter Sosial Bangsa

  • Whatsapp
Dr. Lia Istifhama, M.E.I., Wakil Sekretaris MUI Jatim

SURABAYA, beritalima.com | Bertema Bertumbuh, Berdaya, Berkarya, Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober 2021 kali ini, mengandung makna yang sangat penting dalam penguatan peran santri sebagai pemuda bangsa.

HSN kali ini tentunya diharapkan internalisasi yang semakin mendalam tentang syiar resolusi Jihad yang digelorakan oleh sangat Hadratus Syaikh KH Hasjim Asy’ari sebagai salah satu tonggak utama pertahanan kemerdekaan bangsa. Dicetuskan pada 22 Oktober 1945, Resolusi atau Fatwa Jihad menjadi cikal bakal meledaknya perang besar di Surabaya pada 10 November 1945. Gelora perlawanan dari para pemuda, terutama kalangan santri Nadhliyin untuk melawan tentara Inggris yang membonceng Belanda saat itu, menjadi sebab mengapa akhirnya pengakuan kemerdekaan Indonesia tidak dapat dibantahkan oleh asing.

Kekuatan kalimat dalam resolusi jihad sangat menampakkan spirit perjuangan. Kelima butir tersebut, dibuat oleh KH Hasyim Asy’ari, sebagai berikut:
1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan.
2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong.
3.Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu Inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.
4. Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali.
5. Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang.

Fatwa yang disiarkan melalui berbagai mushollah dan masjid tersebut, telah melahirkan pergerakan perjuangan yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk melawan penjajah Belanda. Dengan begitu, lima butir fatwa jihad tersebut menjadi pengejawantahan kaidah Islam hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman) yang sekaligus menjadi tonggak dakwah antikolonialisme dan teladan nasionalisme.

Direlevansikan dengan situasi saat ini, spirit perjuangan santri sangat dibutuhkan sebagai pertahanan bangsa. Dalam hal ini, santri merupakan tonggak penyelamat karakter sosial bangsa.

Potret kecintaan pada bangsa yang terselip dalam resolusi Jihad, adalah pesan abadi bahwa santri dan pemuda wajib menjaga kemerdekaan Indonesia demi kelangsungan kehidupan anak cucu mendatang. Saat setiap kalimat dalam resolusi jihad tertanam secara kuat dalam jiwa, maka seharusnya tidak ada lagi permusuhan sesama anak bangsa karena musuh nyata hanyalah penjajah atau pihak asing yang ingin merebut kedaulatan Indonesia.

Jika pada 2019, hari santri ‘bertema Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia’ dan tahun 2020, dengan tema ‘Santri Sehat Indonesia Kuat’, maka tema Santri Bertumbuh, Berdaya, Berkarya pada 2021 ini, adalah bentuk harapan agar Santri memiliki peran sebagai pemuda yang adaptif dengan zaman.

Spirit shalihun li kulli zaman wal makan (sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi zaman), menjadi alasan agar santri bisa bertumbuh kuat, berdaya saing, dan berkarya hebat di era digitalisasi. Karya tak harus nunggu kaya. Melainkan karya memang dibutuhkan agar santri dapat menempah diri dan memulai proses di tengah masyarakat sebagai pengejawantahan Syubbanul Yaum Rijalul Ghod, bahwa mereka yang pemuda adalah pemimpin di masa mendatang.

Era digitalisasi identik dengan segala kemudahan akses informasi. Namun, era digitalisasi tetap harus diantisipasi dari potensi ‘Post Truth. Dalam hal ini, potensi terjadinya kebohongan yang dianggap sebagai kebenaran. Jika kebohongan menjadi pembenaran, tentu efek dari digitalisasi atau modernisasi tidak lagi sebatas disrupsi sosial. Sebelumnya, istilah disrupsi disebut oleh Francis Fukuyama sebagai perubahan hubungan sosial, yaitu melemahkan ikatan sosial gemeinschaft (kekerabatan) dan menguatkan gesselschaft, yaitu ikatan yang terbangun karena kesamaan kepentingan di dalam suatu kelompok sosial.

Disrupsi tersebut jika tidak disikapi dengan bijak, juga akan berpotensi ketidakbijakan dalam pemanfaatan digitalisasi. Inilah yang kemudian dikhawatirkan, yaitu terjadinya potensi degradasi nilai sosial, moral, dan kultural. Terlebih, jika degradasi sosial bertemu dengan segala tindakan absurd, yaitu perilaku yang mustahil (halu atau halusinasi) akibat dunia imajiner yang berlebihan dalam menyikapi platform sosial media di era digital. Secara sederhana, absurd ini adalah implikasi dari pemikiran menganggap dunia maya adalah dunia nyata.

Dari sinilah kemudian kita tarik fungsi strategis santri. Bahwa santri memang pemuda sejati yang dibutuhkan dalam pertahanan bangsa. Dengan bekal hubbul wathan yang sangat kuat seperti yang menjadi pesan Sang Hadratus Syaikh dan ilmu yang mumpuni, maka santri tidak bisa terbantahkan lagi sebagai tonggak bangsa.

Santri, yang saat nyantri mendapatkan pembelajaran secara Rabbani, yaitu pembelajaran secara bertahap dari ilmu pengetahuan yang sederhana berangsur menjadi ilmu pengetahuan yang besar (sulit), diharapkan memiliki keilmuan cukup dan kelak memberikan kemaslahatan bagi bangsa.

Dalam kitab Hilyah al-Auliya’, Sang Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad: “Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Camkanlah baik-baik apa yang akan ku sampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari tiga kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu, dan tidak berada pada posisi yang kuat.”

Maka dari pesan tersebut, sangatlah jelas bahwa keilmuan sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Dan inilah yang menjadi alasan mengapa santri kemudian menjadi andalan penyelamat bangsa. Terlebih, santri juga dididik untuk memiliki karakter sosial melalui penempaan sikap tawadlu’ dan rendah hati selama nyantri. Rendah hati dan ilmu seperti dua bagian yang menyatu. Karena keilmuan yang tinggi, seyogyanya semakin merendahkan atau menundukkan hati seorang insan.

Dijelaskan dalam hadis: ““Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah untuk ilmu ketenangan dan sopan santun, dan berendah hatilah kamu kepada orang yang kamu belajar daripadanya.” (HR. Imam Thabrani).

Pada akhirnya, santri dengan segala karakter ukhuwwah Islamiyyah-nya, diharapkan menjadi agen penyelamat karakter sosial di era yang berpotensi terjadinya post truth. Santrilah yang diharapkan mampu meluruskan dis-informasi, mampu menepis hoax, fitnah, dan ujaran kebencian yang hanya mencederai Pancasila. Melalui bangunan karya, santri akan tumbuh lepas dari stigma inferior menuju superior dengan kompetensi memiliki daya saing mengikuti kompetisi global, dan karya hebat yang menjadikan mereka sebagai panutan ilmu dan informasi yang benar di era digitalisasi. (red)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait